Jumat, 26 Desember 2008

Harry Potter




Kaya atau Miskin

Orang bilang: Indonesia itu kaya

Katanya kaya, tapi rumah tak punya

Katanya kaya, tapi mengiba untuk makan

Katanya kaya, tapi hidup terbelit hutang

Katanya kaya, tapi jauh dari sejahtera

Kita ini kaya atau fakir?

Kalau kita fakir…

Mengapa berumah tiga bervila dua

Mengapa bermobil empat

Mengapa menyandang emas, perak, berlian

Mengapa?

Negri kita ini kaya, bahkan raya

Barang tambang memenuhi persadanya

Tapi mengapa kemiskinan meraja

Ibarat itik mati kelaparan di lumbung padi

Orang tak bisa makan di negri agraris

Apakah kita ini kaya?

Atau sebenarnya kita miskin? 



Chinese

Aku ini orang Cina yang belum pernah melihat Cina. Aku terlahir di sini, Indonesia, dan sudah terdaftar sebagai WNI. Aku ingin sekali melihat Cina, negara asal nenekku sebelum ia memutuskan pindah ke Indonesia. Meski demikian, tak pernah sedikit pun terpikir olehku bahwa suatu saat nanti aku bisa pergi ke Cina. Sampai akhirnya Pelatih memanggilku.

“Bulan depan, ada International Swim Championship. Kau tau sendiri kan, bahwa kau perenang terbaik di pelatnas ini. Bahkan terbaik di Indonesia. Aku akan mengirimmu ke perlombaan ini bersama empat temanmu. Kau mau?” tanya Pelatih-ku.

Aku mengangguk. “Siapa saja yang berangkat?” tanyaku singkat.

“Selain kau, ada Ricky, Thomas, Aldi, dan Vira. Kalian akan berangkat tiga hari sebelum perlombaan dimulai.”

Aku mendesah. Thomas, Ricky, dan Aldi sudah sejak dulu tidak menyukaiku. Sepele saja sebenarnya, karena aku selalu lebih baik dalam berenang. Bahkan, mereka menjadikan hal ini sebagai dasar untuk membenci seluruh orang Cina di Indonesia. Mereka pikir, kami telah merebut hak-hak mereka, para pribumi.

Memang, ekonomi Indonesia dikuasai orang Cina dan sebagian besar juara olimpiade sains juga keturunan Cina. Tapi menurutku, hal semacam itu mestinya tidak dibenarkan. Membenci orang hanya karena dia lebih sukses hanyalah perbuatan orang tolol.

“Lomba ini berlangsung selama seminggu. Selama itu, kita akan menginap di Ascott, hotel bintang lima terbaik di Beijing.”

Tar! Aku tersadar dari lamunan. Kaget oleh perkataan Pelatih barusan. Beijing? Apakah itu artinya ....

“Tentu saja! Kompetisi ini berlangsung di Cina! Kau belum tau?” jawab Pelatih ketika kutanya di mana kompetisi ini berlangsung.

Cina? Wow! Aku tak percaya bahwa aku akan bisa menginjakkan kaki di negara itu. Sama sekali tidak percaya.

Sejak saat itu, semangatku melambung tinggi. Aku menjalani sesi-sesi latihan dengan hati berbunga-bunga. Tak sabar rasanya menanti saat keberangkatan.


Bandara Internasional Beijing, 14.00 waktu setempat.

Aku menyeret koperku. Menikmati langkah kaki pertama di Cina. Kami—aku, keempat temanku, Pelatih, dan asistennya—baru saja mendarat. Aku sengaja berlama-lama untuk mengamati setiap sudut bandara ini, salah satu bagian dari Cina yang pertama kulihat.

Kami langsung menuju hotel dengan bus yang disediakan panitia. Di bus itu, juga ada beberapa orang Eropa. Mungkin mereka juga peserta.

Bus kami berjalan mulus di atas aspal. Di dalamnya, aku duduk di samping jendela, menikmati bagian kedua dari Cina yang kulihat.


Tanpa terasa, hari pertama kompetisi telah tiba. Hari ini, 123 orang dari 213 peserta akan memulai perjuangannya untuk berebut tiket perempat final. Sisanya baru akan maju besok. Aku, Vira, dan Ricky berlomba hari ini. Sedangkan Thomas dan Aldi hanya menonton karena mereka akan beradu kecepatan besok pagi.

Setelah upacara pembukaan yang singkat, para peserta langsung menuju ke kolam renang. Aku berganti pakaian dengan perasaan grogi yang mendominasi. Entahlah, meski telah sering mengikuti lomba macam ini, aku tetap saja tak bisa memulai pertandingan tanpa rasa grogi.

“Bagaimana perasaanmu? Kau sudah siap?” tanya Pelatih yang tiba-tiba ada di sampingku.

“Entahlah, aku merasa seperti biasa,” jawabku singkat sambil memulai warming up.

Pelatih menatapku. Diam. Aku pun enggan memulai pembicaraan, apalagi membalas tatapan tajamnya.

“Baiklah kalau begitu. Saya harap kau menampilkan yang terbaik hari ini. Usahakan lolos sampai final,” ujar Pelatih sambil mengulurkan tangannya. Kujabat tangan itu dengan erat untuk menyatakan kesungguhanku secara non verbal.

“Priiiiiiiiiittt.....”

Peluit pertama. Pertandingan segera dimulai. Para peserta mendekati blok start masing-masing. Aku mendekati blok nomor 6. Di sebelah kananku ada peserta bule entah dari mana, sedangkan di sebelah kiriku ada seorang lelaki muda berkulit putih khas Asia.

Wasit telah memberikan aba-abanya. Kami menaiki blok masing-masing, siap meloncat jika mendengar bunyi peluit kedua.

“Priiiiiiiiiittt.....”

Delapan orang serentak melompat ke air. Aku mulai merasakan sensasi favoritku: rasa senang bercampur grogi yang digabungkan dengan semangat untuk menang. Aku berusaha meningkatkan kecepatanku. Aku harus menang! Harus!

100 meter...

Ayo! Semangat! Jangan menyerah! Masih ada 300 meter lagi....

200 meter...

Aku terus memacu kecepatan. Berniat jadi yang pertama menyentuh finish.

350 meter...

Ayo! Sedikit lagi.....

Dan..... Akhirnya! Aku sampai! Aku langsung menyembul dari dalam air. Melepas kacamata renang dan menyeka air di wajah. Aku menoleh ke kanan, belum ada yang sampai. Lalu ke kiri, aku terkejut. Lelaki berkulit putih itu sudah sampai duluan. Sekarang dia sedang mengeringkan tubuhnya dengan handuk.

Aku naik ke tepi kolam, juga mengeringkan wajah dengan handuk. Aku mendekati lelaki itu. Setelah kuamati lagi, ternyata dia sama denganku, orang Cina.

Satu per satu peserta lain sampai di finish. Tapi aku tak peduli. Aku merasa terdorong untuk mendekati lelaki itu. Aku duduk di sampingnya, menatapnya dengan penuh keingintahuan. Sampai ia sadar bahwa aku menatapnya.

“Hi!” sapanya.

“Oh, hi! I’m sorry if I’ve annoyed you,” balasku sembari tersenyum tipis.

“Oh, it’s OK. My name is Mao, Mao Yuan,” katanya memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangannya.

“My name is Adi,” kataku sambil menjabat tangannya dengan hangat.

“Why do you speak English? I think you’re a Chinese?”

“Yeah... I’m a Chinese but I’m from Indonesia,” jawabku. Dia hanya mengangguk.

“By the way, I want to say congratulation to you. You’re the fastest,” ucapku tanpa bisa menahan diri.

“Thank you. But I’m sorry, I have to go now. My brother is waiting for me there,” katanya sambil menunjuk ke bangku penonton terdepan. Di sana duduk seorang remaja laki-laki keturunan Cina. Setelah kuperhatikan lagi, mereka memang mirip.

“OK. It’s very nice to meet you. I hope we can be a friend,” kataku jujur.

“I hope so. Bye....”

“Bye...”

Pertemuan dengan Mao ini membuat hatiku senang. Aku rindu pada teman yang ramah. Di rumah, aku anak tunggal yang kesepian. Orang tuaku disibukkan dengan bisnis. Sedang di sekolah aku ini pendiam, sulit bergaul, enggan memulai percakapan dengan orang lain.

Kebanyakan temanku mengira aku ini sombong mentang-mentang aku orang Cina. Padahal sungguh aku tidak ada maksud untuk menyombong atas keturunan Cina-ku.

“Penampilan yang bagus. 400 meter dalam waktu kurang dari dua puluh menit. Sungguh kau telah berusaha tampil maksimal,” kata Pelatih sambil menepuk punggungku, membuatku kaget.

“Aku yakin kau bisa masuk final.”

Aku hanya terdiam. Pikiran melayang ke mana-mana.


Aku lolos ke perempat final. Mao juga. Hubungan pertemanan kami pun semakin erat. Sekarang, setiap kali bertemu, aku bisa dengan mudah mengajaknya ngobrol. Mao banyak bertanya tentang Indonesia. Aku menjawab semua pertanyaannya tentang Indonesia dan seringkali bertanya balik tentang Cina kepadanya.

Hari keenam kompetisi, setelah diumumkan bahwa aku dan Mao masuk final, aku meminta Mao untuk menemaniku membeli oleh-oleh. Ia mau. Aku pun minta izin Pelatih untuk keluar malam. Awalnya Pelatih tidak mengizinkan dengan alasan bahwa ia takut aku nanti tersesat. Tapi aku bersikeras ingin prgi dan berkata bahwa aku tak mungkin tersesat karena ditemani oleh Mao yang tahu betul daerah ini.

“Apalagi kalau pergi dengannya. Bisa-bisa kau disabotase. Kau sadar kalau dia itu lawanmu, kan?” ujar Pelatih dengan nada tinggi. Aku hanya terdiam.

“Tidak! Kamu tidak boleh pergi!”

“Baiklah. Tapi izinkan aku untuk keluar, memberitahu dia bahwa aku tidak jadi pergi,” ucapku agak ketus.

Pelatih menghela nafas panjang sebelum menjawab, “OK. Tapi ingat! Sebentar saja!”

Aku mendengus. Segera kulangkahkan kaki ke lift untuk turun ke lantai tiga. Kamar Mao ada di sana.

Kamar 358, Ascott Beijing, kamar Mao.

“I’m sorry I can’t go with you,” kataku langsung setelah membalas sapaan Mao.

“Oh... Why?” tanyanya agak kecewa.

Aku hanya mengangkat bahu, tak mau memberi tahu yang sebenarnya. Tampaknya ia mengerti.

“It’s OK if you can’t go now. May be next time,” katanya sambil tersenyum.

“Yeah. May be,” ujarku setengah hati.

Aku langsung pamit setelah dengan sopan menolak ajakannya untuk mampir. Aku berakata bahwa aku butuh istirahat agar besok disa tampil dengan baik alih-alih memberitahunya bahwa Pelatih hanya memberi sedikit waktu untuk bertemu dengannya.


Hari ini finalnya. Pelatih telah berkali-kali mengingatkanku bahwa aku harus bisa menampilkan yang terbaik. Nasib Indonesia ada di tanganku, katanya, terlalu hiperbolis menurutku. Tapi aku bisa memakluminya mengingat keempat temanku tidak ada yang masuk final.

Ketika peluit wasit ditiup, aku langsung melompat ke air. Berusaha sekeras mungkin untuk sampai di finish lebih dulu. Aku tidak memikirkan apa pun selain bagaimana caranya untuk menambah kecepatan lagi dan lagi.

200 meter...

Tinggal separuh... Ayo!

300 meter... Sedikit lagi...

Aku mulai memikirkan peserta lain. Apakah sudah ada yang mencapai finish? Apakah Mao atau yang lain?

Dan aku pun sampai. Menyentuh finish dan langsung keluar dari air. Tanpa peduli teriakan para penonton yang simpang siur, aku langsung memandang sekeliling. Belum ada peserta lain.

“The winner is Indonesia!” suara seseorang yang diperkeras melalui speaker.

Aku tersadar. Akulah pemenangnya! Aku juara satunya! Itu artinya emas untuk Indonesia!

Tiba-tiba aku teringat pada Mao. Di mana dia? Aku naik ke tepi dan terus mengedarkan pandang. Sampai akhirnya aku menemukannya sedang mengeringkan tubuh. Aku mendekatinya.

“Congratulation!” ucapnya datar setelah mengerlingku sekilas.

“Thank you. You know—“ baru saja aku ingin membuka obrolan, tapi dia malah menjauh dariku. Seakan-akan dia tidak mendengarku yang berteriak memanggilnya, dia terus saja menjauh. Aku jadi bingung dibuatnya. Ada apa dengannya?

Penutupan sekaligus penyerahan hadiah berlangsung sore itu. Aku, Mao, dan orang Arab yang bernama Khaleed berjejer di podium. Ketua panitia mengalungkan medali ke leher kami.

Kulihat Mao terus menunduk, memandangi medali peraknya dengan tatapan hampa. Aku terus memandangnya, berharap dia akan menoleh dan kami bertatapan.

Ketika aku sadar dia tak akan menoleh, aku berusaha memanggilnya, tak peduli pada para wartawan yang hilir mudik memotret kami.

“Mao?” panggilku lirih. Dia tetap tak menoleh.

“Mao?” kutinggikan volume suaraku sedikit. Dia mendongak, tapi tidak menatapku. Ternyata adiknya telah menghampirinya. Tanpa menatapku sama sekali, ia langsung pergi bersama adiknya.

“Bagus! Bagus sekali! Kau telah mengharumkan nama bangsa lagi, Nak!” kata Pelatih sambil menjabat dan memelukku. Namun, aku tak peduli seberapa besar prestasi yang barusaja kuperoleh. Dalam hati aku baru saja merasa kehilangan.


Minggu, 14 Desember 2008

Judul Mirip

Akhirnya! Selesai juga tesnya. Tapi, aku masih harap-harap cemas nih! Aku takut kalau hasil tesku ada yang nggak mencukupi sehingga aku harus ikut remidi. Moga-moga aja gak ada, ya? Amin.


Tes selesai, refreshing tiba. Hari terakhir tes, aku sama temen-temen pergi ke Gramedia. Niatku sih, pingin ke sana sendiri, tapi waktu aku ngasih tau temen-temen, mereka pada pingin ikut. Ya udah…


Sebenarnya aku pingin beli buku tentang Friendster atau kalo gak buku tentang Adobe Photoshop, tapi ternyata gak ada yang bagus. Sekalinya ada, harganya selangit. Bukannya aku gak punya uang buat ngebelinya, aku cuma ngerasa eman-eman kalo uang segitu cuma dapat buku satu. Akhirnya, aku mutusin buat window shopping aja.


Pas di bagian buku-buku fiksi, ada tiga buku—setahuku—yang judulnya mirip. Semuanya pake judul dalam bahasa Inggris, pake nama suatu musim, plus nama ibu kota di suatu negara. Ini nih judulnya:

  1. Summer in Seoul
  2. Winter in Tokyo
  3. Autumn in Paris

Mirip kan? Sayangnya aku gak sempet liat siapa pengarang/penulisnya. Kalo penulisnya sama, okelah judul dimirip-miripin. Tapi kalo beda, apa gak sebaiknya judulnya dibedain? Biar khas gitu?


Btw, mungkin suatu saat nanti aku bakalan bikin novel yang judulnya SPRING IN JAKARTA. Mirip sih, tapi lumayan bombastis kan? He..he..he… 

Siapakah Lintang?

Ketika membaca novel Laskar Pelangi, saya tertarik dengan tokoh Lintang. Di dalam novel itu diceritakan bahwa dia harus menempuh jarak puluhan kilo untuk menuntut ilmu. Sungguh perjalanan yang panjang dan pastinya sangat melelahkan.


Meski demikian, dia tak pernah malas untuk berangkat sekolah. Dia anak pesisir jenius, putra seorang nelayan yang harus menanggung biaya hidup 14 orang keluarganya.


Setiap malam, Lintang membaca buku-buku yang dipinjamnya dari kantor kepala sekolah. Ketika kelas satu SMP, dia sudah dapat menguasai pelajaran SMA. Dialah anak yang membawa kemenangan bagi sekolah Muhammadiyah Gantong dalam lomba cerdas cermat. Dia pulalah anak yang terpaksa putus sekolah karena harus menggantikan ayahnya yang telah tiada sebagai tulang punggung keluarga.


Saya senang sekali ketika SCTV menayangkan liputan jejak Laskar Pelangi yang sesungguhnya di pulau Belitung. Saya usahakan untuk mengikutinya setiap kali ada kesempatan.


Giliran Lintang pun tiba dan ini membuat saya agak kecewa karena tim SCTV tidak menemukan Lintang yang sebenarnya.


Ketika Bu Mus ditanya mengenai Lintang, beliau menjawab bahwa beliau sendiri sudah lupa anak-anak Laskar Pelangi itu yang mana saja. Sedangkan ketika hal ini ditanyakan kepada Mahar, A Kiong, dan Kucai, mereka menjawab bahwa tidak ada anggota Laskar Pelangi yang bernama, atau dijuluki, Lintang. Bahkan menurut mereka, Lintang itu lebih tampak seperti penulis sendiri (Andrea Hirata-red).


Namun, ketika dikonfirmasi kepada penulis secara langsung, Andrea meyakinkan bahwa Lintang itu ada.


“Semua yang diceritakan itu ada, tapi tidak semua yang ada diceritakan,” itulah kurang-lebih yang dikatakan Andrea.


Jadi, siapakah Lintang sebenarnya?

Jumat, 14 November 2008

My first blog on multiply

He..he..he..

Sebenarnya aq bikin tulisan ini lebih karena gak ada kerjaan aja. Abis mau buka FS tapi FS-nya lagi gak online. Ya udah, mending ngisi di multiply. Biar gak keliatan kosong lagi sitenya.

Itu aja deh, au revoir!