Sabtu, 20 Juni 2009

Eragon

Rating:★★★★
Category:Movies
Genre: Science Fiction & Fantasy
Film fantasi yang diangkat dari buku berjudul sama karya Christopher Paolini ini mengisahkan petualangan seorang penunggang naga muda, Eragon, bersama naganya yang bernama Saphira. Persahabatan mereka berawal sejak Eragon menemukan ’batu biru’ saat berburu di sebuah hutan bernama Spine. Eragon baru mengetahui bahwa sebenarnya batu itu adalah telur setelah Saphira kecil keluar dari telur itu. Hubungan mereka semakin dekat ketika Eragon memutuskan untuk memelihara Saphira.

Masalah timbul ketika anak buah Galbatorix, seorang penunggang naga sekaligus raja Alagaesia yang kejam, mendatangi desa tempat tinggal Eragon untuk mencari, bahkan membunuhnya. Para anak buah raja ini—Durza, Urgal, dan Ra’zac—diperintahkan untuk mengambil kembali telur yang ditemukan Eragon, yang tak lain adalah telur naga milik raja. Ketika Eragon tahu bahwa dirinya dalam bahaya, ia berusaha untuk memperingatkan pamannya supaya tidak ikut celaka. Sayangnya, ketika ia sampai di rumah, ia menemukan pamannya telah tergeletak tak bernyawa.

Di tengah dukanya, datanglah Brom, lelaki tua yang serba tahu tentang naga. Brom memaksa Eragon untuk meninggalkan desa dan bergabung dengan kaum Varden di pegunungan Beor. Kaum Varden adalah kumpulan orang yang tidak mau tunduk pada kekuasaan Galbatorix. Dengan bergabungnya Eragon dan Saphira, kaum Varden diharapkan dapat meruntuhkan rezim Galbatorix yang kejam. Selain itu, Eragon juga dapat membalaskan kematian pamannya jika ia bersedia bergabung dengan kaum Varden.

Dimulailah perjalanan panjang dari desa Eragon, Carvahall, menuju markas kaum Varden di pegunungan Beor. Eragon, Saphira, dan Brom harus menempuh jarak yang sangat jauh sambil terus berusaha menghindari anak buah raja. Akankah mereka berhasil mencapai pegunungan Beor dan bergabung dengan kaum Varden?

Seseru apapun petualangan Eragon dan Saphira, tentu akan terasa kurang jika tidak ada sisipan cerita cinta. Di tengah perjalanan mereka, Eragon bertemu dengan Arya, putri dari Ellesmera. Ternyata Arya telah diracuni oleh Durza. Keinginan Eragon untuk menyelamatkan Arya semakin menguatkan tekadnya untuk menemukan kaum Varden.

Film yang disutradarai oleh Stefen Fangmeier ini telah masuk nominasi Best Fantasy Film dan Best Performance by a Young Actor pada Saturn Award di tahun 2007. Selain itu, film ini juga masuk nominasi Excellence in Costume Design for Film (Fantasy) pada Costume Designers Guild Award di tahun yang sama.

Meskipun telah menuai prestasi, film ini juga banyak mendapatkan kritik negatif dari berbagai media. Misalnya saja, The Seattle Times mengatakan bahwa film ini ”technically accomplished, but fairly lifeless and at times a bit silly” (secara teknis bagus, tapi kenyataannya kurang hidup dan agak konyol). Sedangkan The Washington Post menganggap bahwa acting para pemeran di film ini kurang meyakinkan.

Terlepas dari itu semua, menurut saya, film yang dibintangi oleh Edward Speleers (Eragon), Jeremy Irons (Brom), dan Sienna Guillory (Arya) ini adalah film yang bagus untuk ditonton. Kisah menarik yang berusaha ditampilkan secara total oleh para pemainnya ini membuat saya tak bisa menahan diri untuk menontonnya lagi dan lagi.

Salah satu adegan yang menarik bagi saya adalah ketika Eragon terbang bersama Saphira. Edward Speleers dapat mengekspresikan euforia terbang dengan begitu hebatnya sehingga saya juga ikut merasakan kesenangan yang dirasakan oleh Eragon ketika terbang bersama Saphira, meskipun saya hanya menontonnya sambil duduk di kursi, bukan di atas naga.

Layaknya film yang diangkat dari sebuah novel, kisah petualangan Eragon dan Saphira dalam film ini agak berbeda dengan kisah yang diceritakan di novelnya. Perbedaan antara film dan novel ini, antara lain tampak dalam perwujudan karakter Brom. Dalam novel, diceritakan bahwa Brom adalah sosok yang penuh rahasia. Sedangkan di dalam filmnya, Brom adalah sosok yang lebih terbuka.

Di film ini juga terdapat adegan yang tidak digambarkan di dalam bukunya. Misalnya saja, percakapan yang dilakukan oleh Galbatorix ketika menyuruh Durza untuk menemukan telur naga yang hilang itu. Begitu pula sebaliknya, ada adegan yang diceritakan dalam buku, namun tidak diceritakan dalam filmnya.

Beberapa makhluk fantasi—seperti urgal dan Ra’zac—juga ditampilkan dengan cara yang berbeda dari deskripsi yang ada pada novelnya. Di dalam novel, dijelaskan bahwa urgal memiliki tanduk. Namun, di dalam film, urgal sama sekali tidak memiliki tanduk. Sedangkan Ra’zac digambarkan seperti sosok manusia bungkuk yang selalu memakai kerudung untuk menutupi wajah. Di dalam film, Ra’zac digambarkan bertubuh tegak dan seperti menggunakan pakaian hitam ketat dan berumbai-rumbai.

Meskipun berbeda dengan novelnya, saya tetap menganggap bahwa film ini adalah film yang bagus dan menghibur. Bagi Anda yang merasa tergila-gila akan film—terutama film fantasi—saya menyarankan untuk tidak melewatkan film ini.

Jumat, 05 Juni 2009

Rindu untuk Budi

Dengan santainya, Pak Diman mengisap rokok sambil mendengarkan radio. Jam dinding usang yang menempel di dinding kamarnya menunjukkan pukul setengah enam. Biasanya, pada jam-jam ini, Pak Diman sudah sibuk dengan segudang aktifitas penjaga sekolah. Mulai dari menyapu halaman hingga menyiapkan minum untuk para guru. Tidak untuk hari ini. Pak Diman bisa bersantai sejenak hari ini.

Radio kunonya melantunkan lagu-lagu pop yang banyak digandrungi remaja sekarang. Lagu demi lagu berganti. Lagu-lagu ini membuka memori lama Pak Diman akan cucu kesayangannya, Budi. Tanpa sadar, tangan lelaki tua itu menjangkau kotak kayu di atas mejanya. Mengeluarkan kenangan paling berharga dari cucunya, sebuah foto dan kaset band favorit Budi. Sambil memandangi wajah cucunya, ia kembali memutar ingatannya akan sebuah percakapan bersama Budi.

“Kamu lagi ngapain, Bud?” tanya Pak Diman sambil bersandar di pintu kamar Budi.

“Eh… Ini, Budi lagi dengerin lagu-lagu favorit Budi, Kek. Lagunya bagus-bagus deh. Kakek mau ikutan dengerin?” dengan antusias ia menambah volume tape-nya.

“Kakek mana ngerti lagu anak muda zaman sekarang, Bud.”

“Yahhh… Coba dong, Kek… Coba dengerin yang ini… ya?” bujuk Budi.

“Iya.. iya.. Kakek coba, deh.”

Sore itu adalah pertama dan terakhir kalinya Pak Diman menikmati lagu-lagu pop bersama cucunya.

Tok…tok…tok…

Pak Diman terperanjat oleh ketukan di gerbang depan. Sekilas ia melirik jam. Pukul enam lewat sepuluh. Siapa yang sudah datang sepagi ini? Ini kan hari ujian? Ujiannya saja baru mulai jam delapan…

Lelaki kurus itu mengambil kunci yang ia kaitkan di belakang pintu lalu bergegas menuju pintu gerbang, secepat yang diizinkan kaki tuanya.

“Ooo… Kamu tho? Pagi sekali datangnya… Ujian mulai jam delapan kan?” ujar Pak Diman kepada anak laki-laki yang tadi mengetuk gerbang. Anak ini memang selalu datang sekitar jam segini.

“Iya, Pak. Saya udah terbiasa datang pagi. Kalau berangkat agak siang, rasanya nggak enak. Udah panas, jalanan juga udah rame, Pak. Makanya, walaupun ujiannya mulai jam delapan, saya tetep berangkat pagi,” jelas anak itu panjang lebar.

“Nanti ujiannya sampai jam berapa?” tanya Pak Diman sambil membukakan gerbang.

“Jam sepuluh. Doakan saya ya, Pak. Semoga saya bisa mengerjakan ujian ini dengan baik.”

“Amin… amin…” jawab Pak Diman sembari tersenyum lebar.

Ketika anak itu sudah masuk dan meninggalkan Pak Diman sendirian di gerbang, pikiran Pak Diman kembali melayang ke cucunya. Betapa anak laki-laki tadi sangat mirip dengan Budi. Mereka berdua sama-sama suka berangkat pagi, tidak pernah terlambat. Mereka selalu berseragam dengan rapi, tidak seperti kebanyakan siswa lain yang suka berseragam seenaknya. Sorot mata mereka selalu memancarkan semangat membara. Mungkin bedanya hanya terdapat pada fisik. Anak laki-laki tadi tampak sehat terawat, kulitnya bersih, dan tubuhnya senantiasa wangi. Sedangkan Budi bertubuh ceking dan lebih sering berbau matahari.

Setelah lamunan singkat di gerbang depan ini, Pak Diman memutuskan sudah saatnya dia memulai pekerjaannya. Ia kembali ke kamarnya untuk mematikan radio kunonya lalu langsung menuju ke dapur sekolah. Merebus air untuk membuatkan the para guru.

***

Keesokan harinya, tepat pukul enam, Pak Diman sudah membuka kunci gerbang. Setelah itu, ia mulai menyapu halaman. Belum juga lima menit berlalu, anak laki-laki itu sudah datang.

“Pagi, Pak Diman,” sapanya.

“Eh… kamu. Pagi,” balas Pak Diman dengan agak kikuk. Meski sudah berulang kali bertemu, dia belum tahu nama anak laki-laki itu.

“Hari ini jadwalnya apa?” tanya Pak Diman ketika anak itu memarkir sepedanya.

“Matematika, Pak,” jawab anak itu dengan senyum lebar menghiasi wajahnya. Pak Diman heran demi melihat bahwa anak itu tetap tenang meski akan menghadapi ujian mata pelajaran yang dianggap sebagai momok oleh sebagian besar siswa.

“Ohhhh…. Udah belajar, kan? Bapak doakan deh, supaya kamu bisa mengerjakan soal-soalnya nanti.”

“Makasih, Pak,” jawab anak itu sambil berlalu ke dalam.

Pak Diman kembali ingat akan cucunya. Pada suatu pagi, sebelum Budi berangkat sekolah…

“Hari ini ujiannya apa, Bud?” tanya Pak Diman.

“Matematika, Kek,” jawabnya sambil memakai sepatu.

“Matematika, ya? Hmmm… Kakek doakan deh, supaya kamu bisa mengerjakan ujiannya nanti.”

“Makasih, Kek. Budi yakin kalau Budi bisa mengerjakan ujian nanti. Budi kan udah belajar, Kek.”

“Iya, deh. Kakek percaya,” jawab Pak Diman.

“Budi berangkat dulu ya, Kek. Assalamu’alaikum,” pamit Budi sambil mencium tangan kakeknya.

“Wa’alaikum salam.”

Ternyata itu adalah pamitan Budi untuk selamanya. Pagi itu dia tidak sampai ke sekolah. Tidak mengerjakan ujian matematikanya. Pagi itu ia tertabrak mobil. Ia mengalami pendarahan hebat di kepala. Ketika dilarikan ke rumah sakit, Budi telah menghembuskan napasnya yang terakhir.

Mata Pak Diman basah. Ia rindu sekali dengan cucunya. Mungkin satu-satunya penghiburan yang dimilikinya adalah anak laki-laki itu. Setiap kali bertemu dan bercakap-cakap dengannya, Pak Diman selalu merasa bahwa ia sedang berhadapan dengan cucunya.

Meski demikian, tak lama lagi, Pak Diman juga harus berpisah dengan anak laki-laki itu. Sebentar lagi ujian selesai dan anak itu pasti lulus. Meninggalkan sekolah ini dan Pak Diman yang sudah menganggapnya sebagai cucunya sendiri. Ia akan meneruskan pendidikannya di sekolah yang lebih tinggi. Dan kelak ia akan menjadi orang sukses. Pak Diman yakin akan hal itu.

***

Gubrakk

“Astaghfirullah!”

Orang-orang mulai mengerumuni anak laki-laki yang sekarang baju putihnya telah basah oleh darah. Mata anak itu terpejam. Napasnya tersengal-sengal. Sepedanya penyok akibat benturan keras dengan mobil tadi.

“Ada apa ini?” tanya Pak Diman yang tadi segera berlari keluar setelah mendengar suara benturan di depan sekolah. Beberapa guru dan siswa juga telah bergabung dengan kerumunan tersebut.

Pandangan lelaki tua itu langsung tertuju ke arah si korban. Wajahnya penuh dengan darah segar yang masih terus mengalir dari luka baru di kepalanya. Meski demikian, mata lelaki tua itu masih cukup awas untuk mengenali bahwa itu adalah anak laki-laki yang mengingatkannya kepada Budi.

“Inna lillah!” seru Pak Diman sembari bersimpuh di samping anak laki-laki itu. Ia meraih kepala anak itu. Mengusap darah dari wajah tampannya.

“Ayo segera telepon ambulance! Anak ini perlu ditolong. Segera! Ayo!” seru seseorang dalam kerumunan. Entah siapa.

Pak Diman hanyut dalam kesedihan. Meskipun anak laki-laki itu tidak memiliki hubungan apa-apa dengannya, Pak Diman tetap menangisi keadaannya. Lelaki tua itu terus-menerus menyeka darah yang keluar dari kepala si anak. Sekilas matanya melirik ke seragam anak itu dan badge nama yang tersemat di dadanya. Tulisannya agak tersamarkan oleh darah. Lelaki tua itu mengedipkan mata untuk menghilangkan genangan air mata di pelupuknya, agar ia bisa membaca dengan jelas. Dan akhirnya, dia tahu nama anak laki-laki itu. Budi Anggara. Tangis Pak Diman pun semakin menjadi-jadi.


Senin, 01 Juni 2009

Pengumuman kelulusan

Start:     Jun 19, '09
Location:     School
Dug deg dug deg
Lulus gak ya????

Perpisahan

Start:     Jun 27, '09
Hiks... hiks...
Dadahh