Kamis, 29 Maret 2012

Koagulasi, di Waktu yang Salah

Di saat kritis seperti ini,
kau justru memberi darah dengan
golongan yang salah kepadaku.
Darah yang aglutinogennya tidak bisa
bersisian dengan aglutininku.
Yang membuat darah di arteri
dan venaku terkoagulasi.
Tambah menenggelamkanku ke
pusaran kekritisan.



Jumat, 23 Maret 2012

HAI, PEMUDA !!

image was taken from somewhere

Beberapa hari yang lalu, saya dibuat bosan dengan berita di TV. Kenapa? Karena isinya hanya didominasi oleh dua hal: kecelakaan plus korbannya dan demo mahasiswa di seantero negeri untuk memprotes kenaikan BBM.

Yang jadi fokus saya adalah yang kedua.

Semua berita tentang demo mahasiswa selalu disertai dengan tayangan bentrok antara mahasiswa dengan aparat juga aksi bakar-bakaran dan anarki yang lain. Itukah wajah mahasiswa Indonesia era kini? Aksi protes mereka itu lho, kok kayak bukan orang terpelajar. Meski berdalih bahwa mereka muak dengan tingkah laku 'lakon atas' di negeri ini, tetap saja tindakan mereka itu tidak bisa dibenarkan [to my opinion]. 

Mereka malah rugi sendiri. Aspirasi belum tentu didengar, tapi harus berurusan dengan polisi. Dan tak menutup kemungkinan mahasiswa-mahasiswa 'vokal' itu harus dikenai pasal tindak pidana, hmmm...

Bukannya saya menyalahkan sikap kritis mereka. Tapi, apakah mereka tidak punya cara yang lebih elegan untuk menyampaikan aspirasi? Untuk membangun Indonesia jadi lebih baik?

Lagipula, aksi demo mereka itu - kalau dipikir-pikir - nggak relevan dengan isi protes mereka. Judulnya demo protes kenaikan harga BBM tapi mereka berbondong-bondong ke kantor DPR untuk menurunkan foto pak Presiden yang digantung di dinding. Apa hubungannya coba?

Lepas dari rencana kenaikan harga BBM, pastinya mahasiswa-mahasiswa itu tahu dong kalau stok minyak mentah di dunia ini semakin menipis... Apa mereka tidak tergerak untuk mencari solusi bahan bakar alternatif? Kenapa mereka seperti terfokus pada kenaikan harga BBM? 

Menurut saya, mereka terlalu fokus pada masalah. Padahal seharusnya kita fokus pada solusi, bukan pada masalah.

Kata bung Karno, "Seribu orang tua hanya dapat bermimpi, satu orang pemuda dapat mengubah dunia." Tapi kalau pemudanya macam pendemo-pendemo anarkis itu, yang sering berpikiran pendek itu, bisakah dunia ini berubah jadi lebih baik?

image source

... sebuah reminder,
semoga diri ini bisa jadi PEMUDA yang bermanfaat...

Rabu, 14 Maret 2012

Satu Cambukan lagi...

Cambukan apa?

...silakan baca ini...


...YEAH.... 

Hidup di dunia ini emang bukan permainan yang bisa di Play Again seenaknya... Sooo, selalu usahakan tampil maksimal di setiap kesempatan!!!

Sabtu, 03 Maret 2012

Ujian Praktek: Baca Puisi

Alhamdulillah... usai sudah ujian prakteknya :D Satu ikatan sudah terurai!!

Well, pingin banget upload foto-foto yang diambil selama lima hari ujian praktek kemarin. Tapi entar aja deh yaa.. Di entry kali ini, saya mau share pengalaman saya pas ujian praktek baca puisi.

______________________________

H-4, sepulang les matematika, ngobrol-ngobrol sama temen. Hingga sampailah ke tema ujian praktek.

Me: eh, kamu dah siap buat baca puisi?
T: udah, aku udah bikin puisinya...
Me: udah dapet instrumennya juga?
T: udah...
Me: berapa bait puisinya?
T: sepuluh.. lha kamu?
Me: *mringis* hehe, aku belum persiapan apa-apa
T: gimana kalau kita duet aja?
Me: boleh, boleh!!

Jadilah kami mulai persiapan berdua. Puisi yang udah ada, diedit lagi jadi lebih panjang. Ini dia puisi jadinya:

DIA BERNAMA TAKDIR
karya Amanti Duciel

Sebuah parade kehidupan dimulai

Diuntai cerita demi cerita sesuai skenario

Dalam sepi aku terdiam, terduduk lunglai

Karena tak ada penawaran, dan telah ditetapkan sepanjang rasio

 

Parade kehidupan dimulai

Pita-pita kisah dianyam dengan polaNya

Dalam bingar aku termenung, menghitung hadiahNya

Betapa, kepadaku Pemilik Semesta ini amat baik

 

Di sini, aku sebagai salah satu lakon

Bukan protagonis apalagi antagonis

Kalian dengar! Akulah lakon!

Tak pula si manis ataupun si sadis

 

Tapi…

Inilah aku…

Aku bukanlah seorang napi…

Karena aku hanya seorang bodoh yang menggigit kuku…

 

Sering diri bertanya, “Apa makna eksistensi?”

Dengan limpahan sungai harta penghapus dahaga duniawi

Teruntuk jiwa-jiwa lain, apa sejatinya diri?

Adakah sebagai kurir rizki kepada orang-orang ini?

 

Orang-orang yang terpinggirkan

Yang dicaci, dimaki, dikatai

Yang dicap pemalas, parasit masyarakat

 

Yaaah…

Akulah yang disebut-sebut pemalas…

Tapi aku bukan pemarah

Karena aku hanya bisa mengandalkan satu tarikan napas

 

Orang-orang ini tetaplah manusia

Patut diberi uluran tangan yang mampu

Menghabisi putus asa mereka

 

Saat mentari menghujam terik

Aku menengadah tangan dan menunduk

Jam usang di tangan terus berderik

Menunggu koin demi koin di ujung tanduk

 

Dan tatkala bulan tertutup mendung hitam

Aku meringkuk tak berdaya bagai ulat

Tak pula aku menjadi naik pitam

Karena takdirku tuk dipeluk lalat

 

Di parade ini pula kutemui

Tak sedikit cibiran penuh iri

Kemanisan semu yang terbitkan muak

Keikhlasan yang dipaksa-paksakan

 

Sungguh aku tak minta

Untuk bisa merasai kasur empuk, mengecap santapan lezat

Tapi, pun Dia beri aku semua itu

Dan aku tak menolak

 

Ya Tuhan…

Mengapa hidup ini bagai lingkaran?

Tidak, aku tidak akan menjerit tak tahan

Tapi Tuhan…

 

Bolehkah aku menamai ini nasib?

Atau ini hanya sekedar permainan

Tapi satu Tuhan, yang Kau ajarkan

Episode sabar dan kesyukuran

 

Duhai Tuhan…

Munafiklah hamba bila berkata tak butuh

Namun, adakah ini sebuah ujian iman?

Dengan semua ini, mampukah iman bertahan utuh?

 

Jujur, hambaMu ini penasaran

Akan rasa kehidupan yang lain

Kehidupan penuh ketulusan

Apapun konsekuensinya

 

…saat semua dibalik…

 

Jika kesempatan hadir melepas jubah proletar ini

Ganti dengan sutera bersih lagi wangi

Tak salah bukan?

Jika aku ingin memakainya…

 

Oooh…

Apa ini?

Mungkinkah ini sisi lain dari polaMu, Tuhan?

Memang aku pernah memintanya

Tapi… Tuhan…

 

Bagai melenggang di atas takdir

Tetap indah walau tanpa warna

Tak lagi aku menjadi buah bibir

Dan kuikat mimpi di atas pelana

 

Kutapakkan langkah pertamaku

Di atas tumpukan bau

Inikah yang mereka sebut kehidupan?

Sungguh mengecewakan…

Tempat ini serasa tak berbatas

 

Tak seperti biasa…

Langit sore tergantung senja kali ini

Tanpa perlu aku mengiba

Toh, apa yang ada di hadapanku

Bisa dengan mudah jadi milikku

 

Bulan yang dulu hitam kusebut-sebut

Sebagai dewi malam kini

Tak lagi ia kelam

Karena kini ku bisa melakukan serupa

Dengan apa yang mereka lakukan dulu

 

Di mana ketulusan yang kucari, Tuhan?!

Dunia baru ini sesak dengan

Tatapan sebelah mata, menghina

Betapa kini, hidup terasa perih sekali

Jerih aku merasai lelah

 

Aku lelah, Tuhan!

Apa ini ujianMu yang lain?!

Aku lelah, Tuhan!

 

Aku ingin seperti dulu

Bisakah permintaan kemarin dicabut saja?

Dan kembalikan aku ke masa lalu?

 

Sudahlah…

Hingga titik jenuhku tak kurasa kepuasan

Aku dapat mencaci!

Tapi mereka yang dulu mencintaiku, terus pergi meninggalkanku

 

 

…kita manusia hanya bisa menerima

inilah dia yang bernama takdir…


Keterangan: Amanti Duciel itu nama pena gabungan. Kalau saya dan Titi pakai nama asli, entar kepanjangan. Jadi pakai nama samaran aja lah. Terus, yang font-nya miring itu bagian saya yang baca.

______________________________

H-1, selesai sholat dhuhur, langsung naik ke GS [lantai teratas, gedung utara masjid]. Niatnya mau latihan di situ biar gak ada yang ganggu dan terganggu. Biar bisa lepas teriak-teriak juga. Tapi nyatanyaaa, kita malah asyik merasakan angin yang subhanallah seger bangeeet XD Sampai akhirnya kita baru serius latihan habis asar. Itupun cuma sekali. Malemnya, saya sibuk ngedit instrumen yang mau dipakai pas hari H. Dengan harapan nanti instrumennya itu nggak kependekan ataupun kepanjangan. Jadi pas puisi selesai, instrumennya juga selesai gitu hloo.. 

______________________________

And finally.... It's show time!!! Selasa, 28 Februari 2012... setelah sekali latihan hanya untuk mengepaskan tempo bacaan dengan instrumennya, kami berdua pun maju. Ini nih video rekamannya... [thanks buat Mr. HandyCameraman]




Hari itu, saya nurut aja deh sama Titi buat pakai bando ijo, syal putih-biru, sama gelang warna-warni, walau sebenernya saya nggak pede [warna-warni gitu sih!], haha...

Komentar buat diri sendiri: ekspresi kurang pas, terlalu judes. Keras pelannya suara juga musti dilatih lagi deh kayaknya. Terus, gerakannya juga terkesan ngasal. Kelihatan banget kalau latihannya kurang >.<

... any other comments?