Selasa, 31 Desember 2013

Been A Secretary

Saya lagi bosen. Bosen merapikan sekian data yang harus dilampirkan di sebuah laporan pertanggungjawaban suatu acara. Dan saya jadi menyadari banyak kekurangan saya selama jadi sekretaris di kepanitiaan acara tersebut...

1. Template
Ini hal penting pertama yang muncul di benak saya. Template untuk berbakai berkas yang dipakai oleh tiap divisi. Misalkan template laporan progress, template timeline, dll. Harusnya saya menetapkan template ini dan tiap divisi tinggal mengisinya. Bukan malah menyerahkan sepenuhnya kepada tiap divisi. Walhasil, berkas yang dihasilkan bisa jadi beda-beda untuk masing-masing divisi. Padahal untuk hal ini, keseragaman itu bagus. Keseragaman bisa membuat laporan pertanggungjawaban ini lebih enak dibaca.

2. SOP
Ini penting banget. Misalnya aja SOP permintaan pembuatan surat keluar. Inget banget lah dulu, anak-anak divisi kalau minta dibuatkan surat suka mendadak dan kurang jelas spesifikasinya. Setelah saya masuk ke staf sekretaris di himpunan, saya baru tahu kalau surat keluar itu bisa dibuat sendiri oleh yang membutuhkan setelah orang itu minta nomor surat ke sekretaris dan mengisi daftar surat keluar (tanggal pembuatan, ditujukan ke siapa, perihal apa, dll). Terus sekretaris tinggal ngecek, mengesahkan (misal dengan stempel), dan mengarsipkan tentunya.

3. Arsip
Well, banyak banget hal-hal yang kurang terarsipkan dengan baik oleh saya selama saya jadi sekretaris di acara itu. Sekarang, pas nyusun LPJ, baru deh terasa banget repotnya ngumpulin berkas-berkas yang masih berserakan. Harusnya hal sekecil apapun yang dilakukan anak-anak divisi ada dokumentasinya, untuk diarsipkan.

Haha, padahal selama menyandang putih abu-abu saya sudah punya pengalaman jadi sekretaris, baik sekretaris organisasi maupun sekretaris acara. Tapi begitu saya diamanahi jadi sekretaris acara pas kuliah ini, saya merasa fail...

Saya pun jadi membanding-bandingkan acara-acara saya di SMA dengan acara saya yang kemarin. Dan saya pun menyadari kalau acara-acara di SMA itu lingkupnya kecil, paling cuma acara internal buat sekolah aja. Sedangkan acara saya yang kemarin itu lingkupnya lumayan besar. Selain itu, di SMA dulu, saya merasa masih banyak mendapat bantuan dan keringanan dari guru-guru. Sedangkan saat kuliah ini, saya dituntut untuk bisa mandiri, profesional, dan bisa bekerja sama dengan teman-teman panitia yang tidak sedikit jumlahnya. Mungkin ini yaa salah satu bedanya siswa sama mahasiswa...

-----
Semoga bisa jadi lebih baik.
Solo, 31 Desember 2013
...lagi bosen, di kamar...

Jumat, 13 Desember 2013

Selesai dengan Diriku Sendiri


Aku ingin eksistensiku bermanfaat bagi orang lain.”
--
Itu kata-kata yang sering aku ucapkan. Dan sekarang, aku sedang merenunginya kembali.
Beberapa minggu yang lalu, aku membaca blogpost seseorang tentang seseorang yang telah selesai dengan dirinya sendiri. (“Orang yang Telah Selesai Dengan Dirinya”, lafatah.wordpress.com)

Beberapa hari yang lalu, aku membaca konsep “selesai dengan diri sendiri” lagi di tulisan lain. Tulisan Fahd Djibran di bukunya yang berjudul “Perjalanan Rasa”.

Hari-hari ini, aku sedang menjalani masa UAS. Pengennya, nggak ada kerjaan lain selain persiapan UAS. Tapi, nyatanya, aku masih harus mikir hal-hal lain juga: ada tiga kepanitiaan yang sedang aku ikuti plus aku masih punya hutang kepada kepanitiaan yang pernah aku ikuti beberapa bulan lalu.

Aku merasa “berat”. Bagaimanapun, prioritas nomor satu tetaplah akademik. Jadi, ya aku memutuskan untuk mendahulukan fokus belajar buat UAS ketimbang ngurusin kepanitiaan. Di sisi lain, aku merasa nggak profesional kalau aku nggak ada progress di setiap kepanitiaan yang aku ikuti. Aku jadi merasa eksistensiku kurang bermanfaat. Berkebalikan dengan keinginan yang aku sampaikan tadi.

Fakta tambahan bagi pernyataan bahwa eksistensiku kurang bermanfaat aku dapatkan ketika mengamati salah seorang teman yang sedang mengajari teman-teman yang lain suatu materi kuliah yang akan diujikan. Aku mengamati, lalu ingat bahwa bukan cuma temanku yang satu itu yang sering mengajari teman-teman lain. Banyak teman yang lain juga yang biasa jadi tutor buat teman-teman sendiri. Aku? Lha wong materi kuliah aja masih banyak yang belum begitu paham, gimana mau nutorin temen-temen?

Aku merasa, aku belum selesai dengan diriku sendiri. Dan sekarang aku menyadari bahwa hal ini menghambat keinginan aku untuk bisa bermanfaat bagi orang lain.

Mengutip kata-kata bang lafatah, “…adakah orang yang benar-benar telah selesai dengan dirinya?”

Iya juga sih… kalau aku pikir-pikir, koq kayaknya kita gak akan pernah selesai ya dengan diri kita sendiri? Terus, kalau kita harus bener-bener selesai dengan diri kita sendiri dulu, kapan kita bisa bermanfaat buat orang lain?

Tapi, aku berpikir juga, kita tetep harus selesai dengan diri kita sendiri dulu, sebelum kita ngurusin orang lain. Tapi kata ‘selesai’ ini cakupannya parsial ya… Misal nih, aku mau bantu temen-temen yang gak ngerti materi kuliah tertentu, ya aku harus ‘selesai’ memahami materi kuliah itu dulu. Aku mau berkontribusi banyak di kepanitiaan, ya aku harus selesai dengan prioritas pertamaku dulu. Mungkin aku harus bisa belajar dengan cepat dan mengurangi waktu tidur, leha-leha, atau waktu-waktu tak produktif lain.

Ya… partially, aku harus selesai dengan diriku dulu…


Bandung, 12 Desember 2013
sembari menikmati nyanyian hujan di kamar kost.

Rabu, 27 November 2013

Nggak Bosen Bahas Waktu


Pernah nggak sih ngerasa waktu 24 jam dalam sehari itu kurang?

Well, kalau aku sih pernah...

Tapi setelah direnungi lagi, kayaknya kalau sehari dikasih waktu 30 jam pun kita bakalan merasa kurang kalau kita tidak meng-improve manajemen waktu kita.

Aku inget materi yang pernah kuterima saat jadi maba dulu, materi 7 Habits-nya Stephen Covey. Kalau nggak salah yang point 'Put First Thing First'. Ada video beberapa orang yang lagi nyusun batu-batu berbagai ukuran ke dalam suatu wadah dari kaca. Kalau orang-orang itu masukin batu-batu yang kecil dulu, batu-batu besar nggak akan bisa masuk semua. Tapi kalau caranya dibalik, yaitu masukin batu-batu yang besar dulu baru masukin batu-batu yang kecil, semua batu itu bakal bisa masuk dan muat di wadah kaca itu. Kalau mau tau lebih detil, bisa baca ini.

Masih masalah waktu juga, ada cerita nih... Jadi, semester ini, aku ada kuliah yang mulainya jam 7. Nah, dosennya ini menerapkan aturan, mahasiswa yang telat dateng (nggak peduli walau hanya semenit, nggak peduli gara-gara macet, pokoknya telat aja) bakal dapet hukuman. Nah, suatu pagi, ada temenku yang dateng telat mencoba bernegosiasi dengan beliau. Temenku mengusulkan agar kuliah dimundurkan 20 menit, jadi dimulai jam 7.20. Dengan begitu, (harapannya) nggak bakal ada lagi mahasiswa yang telat dateng.

Sang Dosen pun menolak. Kata beliau, kalau pun waktu kuliah dimundurkan tapi mindset mahasiswa tidak berubah, tetep aja bakal ada mahasiswa yang datang telat. Yang harusnya diubah itu mindset mahasiswa soal waktu. Mahasiswa harus bisa ngatur waktu. Kalau kuliah mulai jam 7, ya sediakan waktu yang cukup antara bangun tidur sampai jam 7 (waktu buat siap-siap dan perjalanan ke kampus). Misal udah tahu kalau di atas jam 6 jalanan bakal macet, ya berangkat dari rumah harus sebelum jam 6.

Hmm, bener juga sih...

Dari sini juga aku jadi punya rumusan baru:

“Manusia itu nggak akan pernah bisa mengalahkan waktu. Tapi manusia bisa menang bersama waktu. Yaitu dengan 'membuat kesepakatan' dengan waktu dan melaksanakan kesepakatan itu.”

Maksud membuat kesepakatan di sini adalah mengatur waktu. Jadi kita mengalokasikan waktu yang kita miliki untuk hal-hal yang prioritasnya tinggi terlebih dahulu, baru kemudian alokasikan waktu untuk hal-hal yang prioritasnya lebih rendah. Setelah alokasi, hal yang selanjutnya harus kita lakukan hanyalah patuh dan disiplin terhadap jadwal yang telah kita susun sendiri itu. 


Salam,
yang lagi merasa waktu berjalan tidak begitu cepat tapi padet banget

Sabtu, 23 November 2013

Manfaatkan Kesempatan yang Ada


“Kak, kenapa dulu milih kuliah di Informatika?”

Itu suatu pertanyaan yang aku lontarkan kepada kakak tingkat kemarin. Aku yang saat itu sedang merasa 'have no other choices' : tidak ingin kuliah di jurusan lain tapi juga merasa belum terlalu proper kuliah di Informatika.

Ini semester pertamaku sebagai mahasiswa Informatika, walau aku sudah berstatus mahasiswa sejak setahun yang lalu. Kalau ada adik kelas yang menanyakan pertanyaan di atas kepadaku, maka jawabku adalah:

“Sebenernya dulu aku mau masuk Matematika, FMIPA. Tapi kata ibuku, sayang kalau udah kuliah di institut teknologi ambilnya MIPA lagi, MIPA lagi. Ambil yang teknik sekalian lah!” Dan aku pun mulai mencari, bidang teknik apa yang menarik minatku.

Lalu kenapa akhirnya Informatika? Simple sebenernya.. aku pernah membaca salah satu novel karya Dan Brown dan menemukan istilah 'kriptografi' di sana. Lalu, saat browsing dan menemukan silabus kurikulum dari Prodi Informatika di PTN yang kuincar, aku menemukan mata kuliah 'Kriptografi'. Fix, sejak itu aku menempatkan Informatika di pilihan pertama.

Terkesan tidak pikir panjang kan? Hehe, karena aku memang tipe orang yang tak suka berlama-lama menimbang pilihan yang ada. Aku inginnya segera memutuskan.

And, finally... here I am..

Sekarang, aku dikelilingi orang-orang yang jago banget masalah ke-informatika-an. Jebolan TOKI. Jawara kompetisi nasional. Imba... Dan aku mulai merasa minder. Mulai merasa diri ini nggak pantas berada di antara orang-orang itu. Sampai akhirnya aku menanyakan pertanyaan di atas kepada salah seorang kakak tingkat. Kakak tingkat itu menjawab bahwa dari sekian mapel SMA, mapel komputer adalah mapel yang lumayan mudah dia mengerti. Lalu aku lanjutkan pertanyaanku: “Sekarang, setelah tercapai buat kuliah di Informatika, gimana rasanya kak?” Dia pun menjawab sambil tersenyum, “Hehehe, rasanya... kayaknya salah jurusan deh...”

Oke, berarti bukan cuma aku yang merasa nggak (atau belum) proper kuliah di Informatika.

Pagi ini, hari Sabtu yang cerah, tidak ada kuliah tapi aku tetap berangkat ke kampus pagi-pagi dengan harapan bisa menjadikan hari ini produktif. Saat memasuki gerbang kampus, aku tiba-tiba saja ingat kata-kata – yang entah pernah aku ungkapkan atau hanya tercetus di pikiranku saja – ini: 

“Kalau kamu sudah pinter di bidang itu, kamu nggak perlu kuliah di bidang itu. Kamu kuliah di bidang itu, karena emang kamu belom jago di bidang itu, dan kamu pingin 'bisa' di bidang itu.”

Aku belum jago di bidang ini. Aku sudah 'nyemplung' di sini. Ibaratnya, aku nggak jago renang (bahkan kenyataannya aku nggak bisa renang) tapi aku udah nyemplung ke kolam renang. Kenapa nggak memanfaatkan kesempatan itu untuk menjagokan diri sekalian?

Lagi-lagi, quotes ini bisa dipakai sebagai reminder:

“Hard work can beat talent when talent doesn't work hard.”

Sabtu, 09 November 2013

Niat Belajar

"Kalian ngapain? Lagi belajar?"
"Iya dong...!"
"Ngapain belajar lagi? Semuanya sudah terlambat..."

Oke, saya jelaskan setting dialog di atas. Dialog di atas terjadi pada suatu siang setelah pekan UTS berlalu, saat saya sedang menunggu kuliah dimulai. Saya dan seorang teman dekat duduk di luar ruang kuliah sambil membahas ulang soal-soal UTS suatu mata kuliah (tepatnya saya bertanya cara mengerjakan soal-soal itu dengan benar ke teman saya). Lalu datanglah teman (cowok) saya yang lain dan terjadilah dialog di atas.

Respon saya setelah cowok ini mengucapkan kalimat terakhir itu adalah tertawa. Ya, karena dia begitu polos dan datar ekspresinya saat mengucapkan kata-kata itu. Padahal menurut saya kata-katanya itu hiperbolis.

Tapi, setelah dipikir-pikir lagi, kata-kata itu membuat saya kembali bertanya-tanya kepada diri sendiri: apa sebenernya tujuan saya belajar? Apa tujuan saya kuliah? Apakah saya membahas ulang soal-soal UTS itu hanya supaya bisa mengerjakan soal-soal UAS dengan lebih baik sehingga bisa mendapat nilai lebih tinggi? Atau...?

"Tujuan belajar itu supaya kita paham dan bisa mengaplikasikan ilmunya atau supaya lulus ujian?"

Dari perenungan saya selanjutnya, saya juga jadi ingat salah satu materi agama yang saya terima saat masih belajar di sekolah menengah. Kurang lebih intinya seperti ini:

"Suatu amalan itu bergantung pada niatnya. Kalau niatnya untuk mendapat ridho Allah, ya itulah yang akan kita dapat. Tapi kalau niatnya untuk hal-hal duniawi, itu pulalah yang akan kita dapat."

Analoginya begini... kalau tujuan saya belajar cuma supaya dapat nilai bagus dan lulus ujian, ya mungkin saya akan mencapai tujuan tersebut tapi tidak benar-benar memahami materi yang saya pelajari. Karena saya bisa saja lulus ujian dengan hanya menghapal rumus tanpa tahu asal-muasalnya dari mana. Saya bisa saja lulus ujian hanya karena sedang beruntung dosen tidak membuatkan soal yang susah atau tidak saya mengerti. Saya bisa saja lulus ujian karena benar menebak jawaban untuk suatu soal. Walau sebenarnya pemahaman saya masih dangkal, saya bisa saja lulus ujian karena hal-hal yang saya sebutkan tadi. Setelah ujian berlalu pun kemungkinan besar saya akan 'lupa' akan materi-materi yang saya pelajari.

Beda ceritanya kalau saya belajar karena saya ingin benar-benar paham. Saya bisa lulus ujian karena saya memang benar-benar bisa mengerjakan soal yang diberikan, bukan dengan menerka-nerka, bukan karena keberuntungan belaka.

Mari luruskan niat belajar kita.... tidak ada angka yang bisa merepresentasikan pemahaman seseorang dengan tepat...


Bandung, 9 November 2013
badai tubes segera dimulai...

Jumat, 04 Oktober 2013

Nostalgia Masa Perjuangan



“Teh, koq bisa pinter sih?”
“Kalau aku mah udah dilupa-lupain dah…”


Itu sepenggal kalimat yang dilontarkan gadis berseragam putih abu-abu itu. Ya, dia siswi kelas 12 SMA, yang pastinya sekarang lagi menjalani masa-masa hectic menjelang ujian nasional. Malam itu, dia meminta waktuku untuk konsultasi PR matematika, bab Integral. Di sela-sela penjelasanku itulah kalimat-kalimat di atas ia lontarkan.

Tanggapanku:
“Aku kan lebih duluan mempelajari materi ini daripada kalian. Otomatis aku udah lebih banyak latihan. Yaaa, kata lainnya aku lebih berpengalaman dalam hal ini kalau dibandingin sama kalian.”

Tanggapan yang ngga mudah sebenernya. Oke, mulutku emang berkata demikian. Tapi siapa yang bisa menjamin hatiku tidak meninggi (maksudku jadi tinggi hati gitu :3) gara-gara kata-kata yang ia lontarkan. Ya Allah, jangan biarkan hamba-Mu ini jadi orang yang sombong ya… aamiin.

Hmmm, berhubungan dengan anak-anak kelas 12 membuatku berpikir. Betapa energi mereka banyak sekali. Aku ingat masa-masaku dulu saat menyandang predikat siswi kelas 12 SMA: setiap Jum’at tetep masuk sekolah demi tambahan pelajaran Matematika (ya, SMAku liburnya bukan hari Minggu, tapi Jum’at), pulang sore gara-gara tambahan pelajaran, baru nyampe rumah langsung mandi dan siap-siap berangkat les lagi, berangkat pagi demi tambahan jam ke-0, menghabiskan waktu dengan buku-buku latihan soal, belajar dini hari di saat rumah sepi karena semua anggota keluarga yang lain masih tidur, dll. Aku yakin, kegiatan adik-adikku yang kelas 12 itu juga tak jauh beda dengan kegiatanku dulu pas kelas 12. Bahkan mereka masih pakai seragam malam itu. Pertanda bahwa mereka belum sempat pulang ke rumah. Sesampai rumah mereka juga masih harus belajar atau mengerjakan PR untuk keesokan hari. Subhanallah…

Betapa mereka benar-benar harus memanfaatkan waktu yang ada dengan optimal.

Sedangkan aku, selama menjalani kuliah semester ini, merasa banyak banget waktu yang tak termanfaatkan dengan baik: dateng kuliah tapi nggak merhatiin dosen ngomong apa (gegara udah nggak ngerti sejak awal, jadi males dengerin ), suka nunda-nunda ngerjain tugas, kebanyakan tidur di kos, dll. Astaghfirullah…

Pinginnya kalau nggak merhatiin dosen pas kuliah tuh ya waktunya dipake buat do something yang bermanfaat, bukannya buat bengong nggak jelas. Tapi nggak bisaaaaa… Mau ngapain coba? Nyalain laptop terus ngoding atau baca-baca diktat kuliah? Yakali….! Nggak enak lah sama dosennya.. Hmm..

Balik lagi ke topik anak-anak kelas 12 tadi. Saat ini, mereka lagi berjuang keras dan mereka nggak bisa berjuang sendirian. Perlu perjuangan juga dari orang-orang di sekitar mereka: guru-guru yang bersedia memberi bimbingan saat mereka butuh, orang tua yang selalu menyemangati, teman-teman seperjuangan yang saling menguatkan, dll. Aku, sebagai tutor mereka, merasa bahwa aku juga harus ikut berjuang. Caranya dengan membantu mereka untuk lebih memahami pelajaran. Aku melihat peluang untuk diriku bisa bermanfaat bagi orang lain di sini. Aku ingin berkontribusi dalam pencapaian sukses mereka. Ya Allah, luruskan niatku dalam membantu mereka dan ridhoi setiap usaha yang mereka lakukan, aamiin.


Bandung, 3 Oktober 2013

Sabtu, 14 September 2013

Wawancara Kakak Tingkat



Aku merasa butuh menulis, maka aku menulis.


Kali ini pingin share cerita/pemikiran yang didapat setelah wawancara seorang kakak tingkat sebagai tugas osjur.

Kakak tingkat yang satu ini adalah orang yang sangat aktif. Unitnya buanyaaaaakk buangeeett! Masih ikut kegiatan di luar kampus juga lagi! Dan keaktifannya ini sudah dimulai sejak SMA. Di SMA dulu dia ikut 7 organisasi: di 5 organisasi dia jadi sekretaris, terus pernah jadi ketua OSIS juga. Antara aku dan dia ada kesamaan: suka jadi sekretaris. Dulu pun saat magang di himpunan dia memilih masuk staff sekretaris, sama seperti pilihanku kemarin. Bedanya, dia punya misi lain, yaitu ingin mengetahui lebih dalam setiap divisi yang ada di himpunan supaya dia bisa memilih divisi dengan tepat setelah masa magang berlalu. Kalau aku mah, milih sekretaris ya cuma karena suka, itu aja…. Unconditionally…

Selama keberjalanan osjur dari awal, kakak yang satu ini eksis banget. Satu angkatanku setuju kalau dia itu kakak panitia yang dewasa, rasional, dan bijak. Wawancara dengannya kemarin semakin menguatkan kesan itu pada diriku.

Dia orang yang punya visi. Visinya kuat. Yang berbeda dengan sebagian besar kakak-kakak tingkat lain adalah sikapnya yang selow terhadap temen-temennya yang nggak aktif di himpunan. "Kalian boleh kok nggak aktif di himpunan, but don’t just be nothing. Kalau kalian nggak aktif di himpunan, kalian harus punya alasan yang kuat sehingga orang-orang nggak bakal bisa protes terhadap ketidakaktifanmu itu. Misal nih, si A nggak aktif di himpunan karena dia fokus ngejar target buat jadi mapres, si B nggak aktif di himpunan karena dia sibuk ikut lomba dan menang, si C nggak aktif di himpunan karena dia aktifnya di unit, si D nggak aktif di himpunan karena selain kuliah dia sudah mulai merintis bisnis, dll." (kurang lebih seperti itu kata-katanya...)

Menurut si Kakak ini, setiap orang kan punya tujuan masing-masing dan mereka bebas memilih jalan untuk mencapai tujuan itu. Jalan yang dimaksud bukan cuma lewat himpunan.

Si Kakak mendorong kami untuk mengeksplor dunia ini lebih jauh. Karena dengan begitu, pikiran kita bisa terbuka. Wawasan kita makin luas.

Quote yang bagus dari si Kakak: 

“Hard work can beat talent when talent doesn’t work hard.”

Yang paling bikin takjub ya manajemen waktunya itu lho… dari sekian banyak kegiatan, dia bisa survive. Sedangkan aku baru 3 minggu kuliah + magang tapi udah banyak banget ngeluh nggak bisa atur waktu. Si Kakak mengingatkan satu poin yang pernah aku dapat pas training 7 habits tahun lalu: put first thing first. Video ilustrasi dari poin ini adalah video menyusun batu dan kerikil di suatu tabung kaca. Saat penyusunan dilakukan dengan cara memasukkan kerikil terlebih dahulu, nggak semua batu bisa masuk ke tabung itu. Oleh karena itu, caranya dibalik: masukin batu yang besar-besar dulu, baru deh masukkin kerikilnya. Put big thing first, kalau kata si Kakak.
Dia juga menyemangati kami. Meyakinkan kami bahwa kami juga bisa survive, di osjur ini.

Semoga aku juga bisa survive

*maaf kalau tulisannya ‘lompat-lompat’ (nggak sistematis)

[... ditulis saat galau gegara banyak hal yang musti dikerjain...]

Sabtu, 24 Agustus 2013

Tentang Mereka

Kemarin, aku dan teman-teman seangkatan mengunjungi sebuah SLB-C di Bandung. Di sana kami mendapat penjelasan mengenai tunagrahita sekaligus berkesempatan untuk interaksi langsung dengan anak-anak tunagrahita. Here's my story...

***

Pagi sekitar jam 8, rombongan kami tiba di SLB-C yang ada di daerah Cipaganti. Bahkan sebelum kami masuk lebih dalam ke area sekolah itu, sudah ada 2 anak-anak tunagrahita yang keluar dan menyambut kami. Seorang dari mereka langsung merangkul (dan terus merangkul) salah seorang teman saya. Yang seorang lagi mengajak saya dan teman-teman yang lain ber-high five.

Tak lama kemudian, sesi talkshow dimulai. Di sesi ini saya mendapat penjelasan bahwa tunagrahita itu terbagi menjadi 3 tingkatan: ringan, sedang, berat. Tunagrahita ringan adalah yang IQ-nya sekitar 55-74. Anak-anak tunagrahita ringan ini masuk ke kategori mampu didik, maksudnya mereka masih bisa diajari calistung asalkan sudah dimasukkan ke SLB sejak kecil. Selanjutnya ada tunagrahita sedang yang dikategorikan mampu latih. Dilatih apa? Utamanya adalah dilatih untuk mengurus diri mereka sendiri, dilatih untuk mandiri. Yang terakhir adalah tunagrahita berat. Penyandang tunagrahita berat ini benar-benar nggak bisa mengurus diri mereka sendiri.

Selama ini masih banyak persepsi yang salah beredar di masyarakat. Ada yang menyamakan penyandang tunagrahita dengan orang gila. Padahal orang gila itu yang kejiwaannya terganggu sedangkan tunagrahita itu yang IQ-nya di bawah rata-rata, beda dong yaaa...

Ada juga yang asal menjuluki penyandang tunagrahita dengan kata "idiot". Padahal yang dikategorikan idiot itu hanya penyandang tunagrahita berat. Selain itu masih ada juga orang-orang yang menganggap anak-anak tunagrahita itu suatu aib dan tidak ada urgensi untuk menyekolahkan anak-anak tunagrahita (ringan dan sedang). Padahal mereka punya potensi dan bisa berprestasi. Mau bukti? Silakan baca ini.

Ada beberapa pertanyaan yang terbetik di kepala saya selama talkshow itu berlangsung. Yang pertama saya utarakan kepada teman yang duduk di sebelah saya: "Mungkin nggak sih anak-anak tunagrahita itu EQ-nya lebih bagus dari kita? IQ dan EQ itu berbanding lurus nggak sih?"

Jawab teman saya itu: "Hmm, IQ dan EQ belum tentu berbanding lurus. Buktinya, ada banyak orang ber-IQ tinggi tapi EQ-nya jongkok kan?"

Iya juga yaa...

Pertanyaan kedua saya timbul karena ada teman yang bertanya: "Setelah anak-anak tunagrahita ini lulus SLB, apakah ada pekerjaan yang bisa mereka lakukan supaya bisa menafkahi hidup mereka sendiri? Lalu, kalau orang tua mereka sudah meninggal, bagaimana nasib mereka?"

Jawaban dari narasumber untuk pertanyaan tersebut: "Kalau tunagrahita ringan itu masih mungkin dapat pekerjaan, tapi kalau tunagrahita sedang itu susah. Kalau orang tua sudah meninggal ya mereka harus tetap ada yang mengawasi dan mengurusi."

Pertanyaan saya: "Kenapa di dunia ini ada tunagrahita?"

Pertanyaan yang perlu direnungkan.

***

Setelah sesi talkshow itu, kami mendapat kesempatan untuk bermain bersama anak-anak tunagrahita di SLB tersebut. Jujur, saya kikuk juga saat berinteraksi dengan mereka. Saya masih sering tidak mengerti apa yang mereka inginkan. Akan tetapi, keyakinan saya semakin kuat: mereka punya potensi dan mereka berhak mendapat bantuan untuk mengembangkan potensi itu.

***

Ayo peduli tunagrahita!
Like Captcha Peduli Sesama
Follow @CaptchaPeduli
Please come and join our movement:
1. Minggu, 25 Agustus 2013 @CFD Dago
2. Sabtu, 31 Agustus 2013 @GSG Salman ITB

Kamis, 01 Agustus 2013

Ukhuwah Islamiyah

"Menurut kalian, keluarga itu apa sih?"

Bahasan forum kecil saat itu: keluarga. Lebih jelasnya, keluarga yang dimaksud di sini bukan keluarga atas dasar hubungan darah. Keluarga yang dimaksud adalah kumpulan orang dari latar belakang berbeda-beda tapi bersinergi layaknya sebuah keluarga (makna harfiah).

Jawabanku:
"Keluarga itu tempat 'pulang'. Saat kita bersama keluarga, kita merasa ya memang di situlah tempat kita seharusnya berada. Saat bersama keluarga, kita nggak pake topeng."

Ada juga yang menjawab:
"Keluarga itu kalau ada ikatan batin antara satu orang dengan orang yang lain."

Untuk konteks keluarga yang ini, karena isinya adalah orang-orang yang baru kenal, syarat berupa 'mau sama mau' juga perlu ditambahkan deh... Orang-orang itu, yang paling lama juga baru kenal setahun (mungkin lebih juga, tapi yang jelas nggak kenal sejak lahir), mau nggak untuk menerima satu sama lain sebagai keluarga mereka?

Setelah jeda sekian lama dari forum itu, aku ingat materi pendidikan agama yang pernah diberikan kepadaku di SMA. Bahwa sesama Muslim itu saudara. Muslim satu dengan Muslim lain layaknya bangunan yang bagian-bagiannya saling menguatkan. Muslim satu dengan Muslim lain layaknya satu tubuh yang jika ada anggota yang kesakitan maka anggota lainnya akan ikut merasakan. Ukhuwah yang berlandaskan aqidah lebih kuat daripada persaudaraan karena hubungan darah (misal dalam hal warisan).

Ada juga note FB dari teman yang mengingatkanku tentang materi ukhuwah, bahwa ukhuwah itu ada tingkatan-tingkatannya:
1. Ta'aruf (saling mengenal) ; tingkatan paling mendasar
2. Tafahum (saling memahami)
3. Ta'awun (saling menolong)
4. Takaful (saling menanggung)
5. Itsar  (mendahulukan orang lain daripada diri sendiri) ; tingkatan paling tinggi

Saya juga teringat akan kisah indah ukhuwah antara Muhajirin dan Anshar. Mereka juga baru kenal saat Muhajirin mengiringi Rasulullah SAS hijrah ke Madinah. Tidak ada hubungan darah, tapi aqidah mereka sama. Oleh karena itu, Anshar sang tuan rumah pun tak tanggung-tanggung memberi bantuan kepada Muhajirin. Kaum Anshar rela memberikan harta bahkan menawarkan isteri mereka kepada saudara barunya, kaum Muhajirin.

Indah sekali ukhuwah islamiyah itu...

Saat ini, ada anggota 'tubuh' kita yang sedang sakit. Ada bagian dari 'bangunan' kita yang perlu dikuatkan. Mari ingat mereka dalam setiap doa kita...


Solo, 1 Agustus 2013

Rabu, 24 Juli 2013

Udah Siap?

Ce: Hari ini adalah hari ketiga aku nggak bangun sahur.
Co: Cewe koq gak bangun sahur... nanti suaminya gimana...

Dialog singkat yang mengusik pikiran saya. Ditambah kondisi lingkungan sekitar yang lagi lumayan panas soal 'nikah' , saya jadi mikir gara-gara obrolan sesaat yang saya dengar ini.

Udah setahun saya jadi mahasiswa, perantau, dan tinggal di kos-kosan. Udah setahun saya hidup jauh dari orang tua. Hubungan dengan mereka hanya lewat SMS, telepon, FB, do'a, dan kiriman uang. Tanpa kontak fisik. Di rantau ini saya harus bisa mengurus diri sendiri: bersihin kamar kos sendiri, nyuci baju sendiri, cari makan sendiri, jaga kesehatan sendiri, atur duit sendiri, dll. Intinya belajar mandiri lah.

Lalu, sudahkah saya jauh lebih mandiri dari tahun lalu?

Hoho, rasa-rasanya belum. Aku memang melakukan hal-hal itu sendiri. Tapi tidak disertai kesadaran diri. So, kalau dapet kesempatan pulkam, aku seperti komputer yang di-shut down. Memori di RAM ilang semua.

Nah, kalau ngurus diri sendiri aja masih dilandasi keterpaksaan, gimana mau ngurus orang lain...?

Aku jadi ingat suatu blogpost yang ada di sini:

A: Jadi gimana mba?
B: Kamu siap nikah sekarang?
A: Siaaap... Insya Allah aku mau mba, bikin hubungan kayak gini jadi halal
B: Oke sip. Anyway, menikah itu lebih dari sebatas halal say. Tapi melayani... melayani makannya, capeknya, cuciannya, anak-anaknya, keuangannya...
A: Insya Allah...
B: Kamarmu sudah rapi?
A: ...
B: Pengelolaan uang jajan, belanjamu sudah beres?
A: ...
B: Sudah ga terbiasa beli makan di warung kan?
A: ...
B: Tumpukan baju kotormu sudah dicuci? Dan ga ngelaundry kan?
A: ... 

Kena banget sama dialog itu. Ayo jadi pribadi yang lebih mandiri dan dewasa! :D

Simulasi #2


"Banyak-banyaklah menulis, banyak-banyaklah membaca." [PKP]

Itu pesan dari seorang kakak beberapa hari lalu, setelah menonton film GIE bersama-sama.

Hal yang membuatku kagum pada sosok tokoh di film itu adalah ke-kutubuku-annya dan konsistensinya dalam menulis jurnal harian maupun menulis untuk media. Pikirannya bebas. Idealisme sudah dimilikinya sejak muda. Dan dia berani, vokal.

Aku juga suka membaca, tapi membaca novel. Bukannya aku bilang kalau membaca novel itu tak ada gunanya. Hanya saja, selama ini mindset ku tentang novel hanyalah sebagai hiburan yang tak perlu dikritisi. Cukup dinikmati saja. Kalaupun ada komentar, paling hanya komentar yang general dan tidak mendalam. Aku juga tahu, kalau di novel-novel itu ada banyak informasi yang diselipkan. Namun aku hanya membacanya sepintas lalu, tanpa memikirkannya lebih lama lagi.

Ada yang bilang, untuk bisa menulis kita harus mau membaca. Aku sudah membaca banyak buku (novel). Tapi karya tulisku masih sedikit. Bahkan sudah berbilang tahun aku menelantarkan blog ini, media publikasi karya tulis yang paling sederhana. Minder rasanya saat berkunjung ke blog teman dan mendapatinya masih rajin menulis walau kami sama-sama sibuk.

Setelah menonton film GIE kemarin, aku (lagi-lagi) ingin mengakrabkan diri dengan buku. Aku ingin memperluas wawasan dan membebaskan pikiran. Aku ingin meningkatkan kualitas bacaanku. Aku berharap, dengan buku-buku yang aku baca, aku bisa menjadi seseorang yang lebih baik. Seperti pesan seorang kakak kemarin,

"Jangan mau hanya menjadi dirimu apa adanya! Tapi jadilah dirimu yang terbaik!" 

Aku tidak ingin lagi menjadi seseorang yang hanya diam, tidak punya pendapat dan pendirian. Untuk itu, aku harus banyak-banyak membaca kritis. Aku harus berlatih mengutarakan pendapat. Aku harus aktif berpikir.

"Aku rela dipenjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku bebas." [Mohammad Hatta] 

Jumat, 19 Juli 2013

Simulasi #1

Diambil dari sini.

“…mungkin ini simulasi mencampurkan 133 zat kimia yang berbeda dalam satu wadah. Dengan harapan ke-133 zat itu bisa bereaksi sempurna dan membentuk satu zat baru yang diinginkan oleh si Penyampur.”
Bayanganku, ada 133 tetes cat minyak dengan warna berbeda yang diteteskan ke dalam baskom berisi air. Warna-warna itu akan berdiri sendiri, tidak bercampur. Perlu effort lebih untuk mencampurkan semua warna itu. Kalau semua warna itu sudah tercampur, warna apa yang muncul? Hitam?

Bayanganku juga sempat mempertimbangkan gelombang cahaya. Ada 133 gelombang cahaya tampak yang berbeda-beda frekuensi dan panjang gelombangnya. Seseorang ingin menyatukan ke-133 gelombang itu. Lalu, cahaya tampak warna apakah yang akan terlihat jika semua gelombang itu telah menyatu? Putih?


Baru beberapa saat kemudian aku ingat. Warna-warna itu tidak perlu  melebur semua untuk bersatu. Mereka tetap bisa berdiri sendiri, mempertahankan identitas mereka. Yang mereka perlukan untuk bersatu hanyalah kerelaan menerima eksistensi warna lain, kemauan untuk berdampingan dan bersinergi dengan warna-warna lain membentuk suatu karya yang indah, yang tepat komposisi warnanya.

Aku masih belajar...