Rabu, 27 November 2013

Nggak Bosen Bahas Waktu


Pernah nggak sih ngerasa waktu 24 jam dalam sehari itu kurang?

Well, kalau aku sih pernah...

Tapi setelah direnungi lagi, kayaknya kalau sehari dikasih waktu 30 jam pun kita bakalan merasa kurang kalau kita tidak meng-improve manajemen waktu kita.

Aku inget materi yang pernah kuterima saat jadi maba dulu, materi 7 Habits-nya Stephen Covey. Kalau nggak salah yang point 'Put First Thing First'. Ada video beberapa orang yang lagi nyusun batu-batu berbagai ukuran ke dalam suatu wadah dari kaca. Kalau orang-orang itu masukin batu-batu yang kecil dulu, batu-batu besar nggak akan bisa masuk semua. Tapi kalau caranya dibalik, yaitu masukin batu-batu yang besar dulu baru masukin batu-batu yang kecil, semua batu itu bakal bisa masuk dan muat di wadah kaca itu. Kalau mau tau lebih detil, bisa baca ini.

Masih masalah waktu juga, ada cerita nih... Jadi, semester ini, aku ada kuliah yang mulainya jam 7. Nah, dosennya ini menerapkan aturan, mahasiswa yang telat dateng (nggak peduli walau hanya semenit, nggak peduli gara-gara macet, pokoknya telat aja) bakal dapet hukuman. Nah, suatu pagi, ada temenku yang dateng telat mencoba bernegosiasi dengan beliau. Temenku mengusulkan agar kuliah dimundurkan 20 menit, jadi dimulai jam 7.20. Dengan begitu, (harapannya) nggak bakal ada lagi mahasiswa yang telat dateng.

Sang Dosen pun menolak. Kata beliau, kalau pun waktu kuliah dimundurkan tapi mindset mahasiswa tidak berubah, tetep aja bakal ada mahasiswa yang datang telat. Yang harusnya diubah itu mindset mahasiswa soal waktu. Mahasiswa harus bisa ngatur waktu. Kalau kuliah mulai jam 7, ya sediakan waktu yang cukup antara bangun tidur sampai jam 7 (waktu buat siap-siap dan perjalanan ke kampus). Misal udah tahu kalau di atas jam 6 jalanan bakal macet, ya berangkat dari rumah harus sebelum jam 6.

Hmm, bener juga sih...

Dari sini juga aku jadi punya rumusan baru:

“Manusia itu nggak akan pernah bisa mengalahkan waktu. Tapi manusia bisa menang bersama waktu. Yaitu dengan 'membuat kesepakatan' dengan waktu dan melaksanakan kesepakatan itu.”

Maksud membuat kesepakatan di sini adalah mengatur waktu. Jadi kita mengalokasikan waktu yang kita miliki untuk hal-hal yang prioritasnya tinggi terlebih dahulu, baru kemudian alokasikan waktu untuk hal-hal yang prioritasnya lebih rendah. Setelah alokasi, hal yang selanjutnya harus kita lakukan hanyalah patuh dan disiplin terhadap jadwal yang telah kita susun sendiri itu. 


Salam,
yang lagi merasa waktu berjalan tidak begitu cepat tapi padet banget

Sabtu, 23 November 2013

Manfaatkan Kesempatan yang Ada


“Kak, kenapa dulu milih kuliah di Informatika?”

Itu suatu pertanyaan yang aku lontarkan kepada kakak tingkat kemarin. Aku yang saat itu sedang merasa 'have no other choices' : tidak ingin kuliah di jurusan lain tapi juga merasa belum terlalu proper kuliah di Informatika.

Ini semester pertamaku sebagai mahasiswa Informatika, walau aku sudah berstatus mahasiswa sejak setahun yang lalu. Kalau ada adik kelas yang menanyakan pertanyaan di atas kepadaku, maka jawabku adalah:

“Sebenernya dulu aku mau masuk Matematika, FMIPA. Tapi kata ibuku, sayang kalau udah kuliah di institut teknologi ambilnya MIPA lagi, MIPA lagi. Ambil yang teknik sekalian lah!” Dan aku pun mulai mencari, bidang teknik apa yang menarik minatku.

Lalu kenapa akhirnya Informatika? Simple sebenernya.. aku pernah membaca salah satu novel karya Dan Brown dan menemukan istilah 'kriptografi' di sana. Lalu, saat browsing dan menemukan silabus kurikulum dari Prodi Informatika di PTN yang kuincar, aku menemukan mata kuliah 'Kriptografi'. Fix, sejak itu aku menempatkan Informatika di pilihan pertama.

Terkesan tidak pikir panjang kan? Hehe, karena aku memang tipe orang yang tak suka berlama-lama menimbang pilihan yang ada. Aku inginnya segera memutuskan.

And, finally... here I am..

Sekarang, aku dikelilingi orang-orang yang jago banget masalah ke-informatika-an. Jebolan TOKI. Jawara kompetisi nasional. Imba... Dan aku mulai merasa minder. Mulai merasa diri ini nggak pantas berada di antara orang-orang itu. Sampai akhirnya aku menanyakan pertanyaan di atas kepada salah seorang kakak tingkat. Kakak tingkat itu menjawab bahwa dari sekian mapel SMA, mapel komputer adalah mapel yang lumayan mudah dia mengerti. Lalu aku lanjutkan pertanyaanku: “Sekarang, setelah tercapai buat kuliah di Informatika, gimana rasanya kak?” Dia pun menjawab sambil tersenyum, “Hehehe, rasanya... kayaknya salah jurusan deh...”

Oke, berarti bukan cuma aku yang merasa nggak (atau belum) proper kuliah di Informatika.

Pagi ini, hari Sabtu yang cerah, tidak ada kuliah tapi aku tetap berangkat ke kampus pagi-pagi dengan harapan bisa menjadikan hari ini produktif. Saat memasuki gerbang kampus, aku tiba-tiba saja ingat kata-kata – yang entah pernah aku ungkapkan atau hanya tercetus di pikiranku saja – ini: 

“Kalau kamu sudah pinter di bidang itu, kamu nggak perlu kuliah di bidang itu. Kamu kuliah di bidang itu, karena emang kamu belom jago di bidang itu, dan kamu pingin 'bisa' di bidang itu.”

Aku belum jago di bidang ini. Aku sudah 'nyemplung' di sini. Ibaratnya, aku nggak jago renang (bahkan kenyataannya aku nggak bisa renang) tapi aku udah nyemplung ke kolam renang. Kenapa nggak memanfaatkan kesempatan itu untuk menjagokan diri sekalian?

Lagi-lagi, quotes ini bisa dipakai sebagai reminder:

“Hard work can beat talent when talent doesn't work hard.”

Sabtu, 09 November 2013

Niat Belajar

"Kalian ngapain? Lagi belajar?"
"Iya dong...!"
"Ngapain belajar lagi? Semuanya sudah terlambat..."

Oke, saya jelaskan setting dialog di atas. Dialog di atas terjadi pada suatu siang setelah pekan UTS berlalu, saat saya sedang menunggu kuliah dimulai. Saya dan seorang teman dekat duduk di luar ruang kuliah sambil membahas ulang soal-soal UTS suatu mata kuliah (tepatnya saya bertanya cara mengerjakan soal-soal itu dengan benar ke teman saya). Lalu datanglah teman (cowok) saya yang lain dan terjadilah dialog di atas.

Respon saya setelah cowok ini mengucapkan kalimat terakhir itu adalah tertawa. Ya, karena dia begitu polos dan datar ekspresinya saat mengucapkan kata-kata itu. Padahal menurut saya kata-katanya itu hiperbolis.

Tapi, setelah dipikir-pikir lagi, kata-kata itu membuat saya kembali bertanya-tanya kepada diri sendiri: apa sebenernya tujuan saya belajar? Apa tujuan saya kuliah? Apakah saya membahas ulang soal-soal UTS itu hanya supaya bisa mengerjakan soal-soal UAS dengan lebih baik sehingga bisa mendapat nilai lebih tinggi? Atau...?

"Tujuan belajar itu supaya kita paham dan bisa mengaplikasikan ilmunya atau supaya lulus ujian?"

Dari perenungan saya selanjutnya, saya juga jadi ingat salah satu materi agama yang saya terima saat masih belajar di sekolah menengah. Kurang lebih intinya seperti ini:

"Suatu amalan itu bergantung pada niatnya. Kalau niatnya untuk mendapat ridho Allah, ya itulah yang akan kita dapat. Tapi kalau niatnya untuk hal-hal duniawi, itu pulalah yang akan kita dapat."

Analoginya begini... kalau tujuan saya belajar cuma supaya dapat nilai bagus dan lulus ujian, ya mungkin saya akan mencapai tujuan tersebut tapi tidak benar-benar memahami materi yang saya pelajari. Karena saya bisa saja lulus ujian dengan hanya menghapal rumus tanpa tahu asal-muasalnya dari mana. Saya bisa saja lulus ujian hanya karena sedang beruntung dosen tidak membuatkan soal yang susah atau tidak saya mengerti. Saya bisa saja lulus ujian karena benar menebak jawaban untuk suatu soal. Walau sebenarnya pemahaman saya masih dangkal, saya bisa saja lulus ujian karena hal-hal yang saya sebutkan tadi. Setelah ujian berlalu pun kemungkinan besar saya akan 'lupa' akan materi-materi yang saya pelajari.

Beda ceritanya kalau saya belajar karena saya ingin benar-benar paham. Saya bisa lulus ujian karena saya memang benar-benar bisa mengerjakan soal yang diberikan, bukan dengan menerka-nerka, bukan karena keberuntungan belaka.

Mari luruskan niat belajar kita.... tidak ada angka yang bisa merepresentasikan pemahaman seseorang dengan tepat...


Bandung, 9 November 2013
badai tubes segera dimulai...