Selasa, 31 Desember 2013

Been A Secretary

Saya lagi bosen. Bosen merapikan sekian data yang harus dilampirkan di sebuah laporan pertanggungjawaban suatu acara. Dan saya jadi menyadari banyak kekurangan saya selama jadi sekretaris di kepanitiaan acara tersebut...

1. Template
Ini hal penting pertama yang muncul di benak saya. Template untuk berbakai berkas yang dipakai oleh tiap divisi. Misalkan template laporan progress, template timeline, dll. Harusnya saya menetapkan template ini dan tiap divisi tinggal mengisinya. Bukan malah menyerahkan sepenuhnya kepada tiap divisi. Walhasil, berkas yang dihasilkan bisa jadi beda-beda untuk masing-masing divisi. Padahal untuk hal ini, keseragaman itu bagus. Keseragaman bisa membuat laporan pertanggungjawaban ini lebih enak dibaca.

2. SOP
Ini penting banget. Misalnya aja SOP permintaan pembuatan surat keluar. Inget banget lah dulu, anak-anak divisi kalau minta dibuatkan surat suka mendadak dan kurang jelas spesifikasinya. Setelah saya masuk ke staf sekretaris di himpunan, saya baru tahu kalau surat keluar itu bisa dibuat sendiri oleh yang membutuhkan setelah orang itu minta nomor surat ke sekretaris dan mengisi daftar surat keluar (tanggal pembuatan, ditujukan ke siapa, perihal apa, dll). Terus sekretaris tinggal ngecek, mengesahkan (misal dengan stempel), dan mengarsipkan tentunya.

3. Arsip
Well, banyak banget hal-hal yang kurang terarsipkan dengan baik oleh saya selama saya jadi sekretaris di acara itu. Sekarang, pas nyusun LPJ, baru deh terasa banget repotnya ngumpulin berkas-berkas yang masih berserakan. Harusnya hal sekecil apapun yang dilakukan anak-anak divisi ada dokumentasinya, untuk diarsipkan.

Haha, padahal selama menyandang putih abu-abu saya sudah punya pengalaman jadi sekretaris, baik sekretaris organisasi maupun sekretaris acara. Tapi begitu saya diamanahi jadi sekretaris acara pas kuliah ini, saya merasa fail...

Saya pun jadi membanding-bandingkan acara-acara saya di SMA dengan acara saya yang kemarin. Dan saya pun menyadari kalau acara-acara di SMA itu lingkupnya kecil, paling cuma acara internal buat sekolah aja. Sedangkan acara saya yang kemarin itu lingkupnya lumayan besar. Selain itu, di SMA dulu, saya merasa masih banyak mendapat bantuan dan keringanan dari guru-guru. Sedangkan saat kuliah ini, saya dituntut untuk bisa mandiri, profesional, dan bisa bekerja sama dengan teman-teman panitia yang tidak sedikit jumlahnya. Mungkin ini yaa salah satu bedanya siswa sama mahasiswa...

-----
Semoga bisa jadi lebih baik.
Solo, 31 Desember 2013
...lagi bosen, di kamar...

Jumat, 13 Desember 2013

Selesai dengan Diriku Sendiri


Aku ingin eksistensiku bermanfaat bagi orang lain.”
--
Itu kata-kata yang sering aku ucapkan. Dan sekarang, aku sedang merenunginya kembali.
Beberapa minggu yang lalu, aku membaca blogpost seseorang tentang seseorang yang telah selesai dengan dirinya sendiri. (“Orang yang Telah Selesai Dengan Dirinya”, lafatah.wordpress.com)

Beberapa hari yang lalu, aku membaca konsep “selesai dengan diri sendiri” lagi di tulisan lain. Tulisan Fahd Djibran di bukunya yang berjudul “Perjalanan Rasa”.

Hari-hari ini, aku sedang menjalani masa UAS. Pengennya, nggak ada kerjaan lain selain persiapan UAS. Tapi, nyatanya, aku masih harus mikir hal-hal lain juga: ada tiga kepanitiaan yang sedang aku ikuti plus aku masih punya hutang kepada kepanitiaan yang pernah aku ikuti beberapa bulan lalu.

Aku merasa “berat”. Bagaimanapun, prioritas nomor satu tetaplah akademik. Jadi, ya aku memutuskan untuk mendahulukan fokus belajar buat UAS ketimbang ngurusin kepanitiaan. Di sisi lain, aku merasa nggak profesional kalau aku nggak ada progress di setiap kepanitiaan yang aku ikuti. Aku jadi merasa eksistensiku kurang bermanfaat. Berkebalikan dengan keinginan yang aku sampaikan tadi.

Fakta tambahan bagi pernyataan bahwa eksistensiku kurang bermanfaat aku dapatkan ketika mengamati salah seorang teman yang sedang mengajari teman-teman yang lain suatu materi kuliah yang akan diujikan. Aku mengamati, lalu ingat bahwa bukan cuma temanku yang satu itu yang sering mengajari teman-teman lain. Banyak teman yang lain juga yang biasa jadi tutor buat teman-teman sendiri. Aku? Lha wong materi kuliah aja masih banyak yang belum begitu paham, gimana mau nutorin temen-temen?

Aku merasa, aku belum selesai dengan diriku sendiri. Dan sekarang aku menyadari bahwa hal ini menghambat keinginan aku untuk bisa bermanfaat bagi orang lain.

Mengutip kata-kata bang lafatah, “…adakah orang yang benar-benar telah selesai dengan dirinya?”

Iya juga sih… kalau aku pikir-pikir, koq kayaknya kita gak akan pernah selesai ya dengan diri kita sendiri? Terus, kalau kita harus bener-bener selesai dengan diri kita sendiri dulu, kapan kita bisa bermanfaat buat orang lain?

Tapi, aku berpikir juga, kita tetep harus selesai dengan diri kita sendiri dulu, sebelum kita ngurusin orang lain. Tapi kata ‘selesai’ ini cakupannya parsial ya… Misal nih, aku mau bantu temen-temen yang gak ngerti materi kuliah tertentu, ya aku harus ‘selesai’ memahami materi kuliah itu dulu. Aku mau berkontribusi banyak di kepanitiaan, ya aku harus selesai dengan prioritas pertamaku dulu. Mungkin aku harus bisa belajar dengan cepat dan mengurangi waktu tidur, leha-leha, atau waktu-waktu tak produktif lain.

Ya… partially, aku harus selesai dengan diriku dulu…


Bandung, 12 Desember 2013
sembari menikmati nyanyian hujan di kamar kost.