Sabtu, 24 Agustus 2013

Tentang Mereka

Kemarin, aku dan teman-teman seangkatan mengunjungi sebuah SLB-C di Bandung. Di sana kami mendapat penjelasan mengenai tunagrahita sekaligus berkesempatan untuk interaksi langsung dengan anak-anak tunagrahita. Here's my story...

***

Pagi sekitar jam 8, rombongan kami tiba di SLB-C yang ada di daerah Cipaganti. Bahkan sebelum kami masuk lebih dalam ke area sekolah itu, sudah ada 2 anak-anak tunagrahita yang keluar dan menyambut kami. Seorang dari mereka langsung merangkul (dan terus merangkul) salah seorang teman saya. Yang seorang lagi mengajak saya dan teman-teman yang lain ber-high five.

Tak lama kemudian, sesi talkshow dimulai. Di sesi ini saya mendapat penjelasan bahwa tunagrahita itu terbagi menjadi 3 tingkatan: ringan, sedang, berat. Tunagrahita ringan adalah yang IQ-nya sekitar 55-74. Anak-anak tunagrahita ringan ini masuk ke kategori mampu didik, maksudnya mereka masih bisa diajari calistung asalkan sudah dimasukkan ke SLB sejak kecil. Selanjutnya ada tunagrahita sedang yang dikategorikan mampu latih. Dilatih apa? Utamanya adalah dilatih untuk mengurus diri mereka sendiri, dilatih untuk mandiri. Yang terakhir adalah tunagrahita berat. Penyandang tunagrahita berat ini benar-benar nggak bisa mengurus diri mereka sendiri.

Selama ini masih banyak persepsi yang salah beredar di masyarakat. Ada yang menyamakan penyandang tunagrahita dengan orang gila. Padahal orang gila itu yang kejiwaannya terganggu sedangkan tunagrahita itu yang IQ-nya di bawah rata-rata, beda dong yaaa...

Ada juga yang asal menjuluki penyandang tunagrahita dengan kata "idiot". Padahal yang dikategorikan idiot itu hanya penyandang tunagrahita berat. Selain itu masih ada juga orang-orang yang menganggap anak-anak tunagrahita itu suatu aib dan tidak ada urgensi untuk menyekolahkan anak-anak tunagrahita (ringan dan sedang). Padahal mereka punya potensi dan bisa berprestasi. Mau bukti? Silakan baca ini.

Ada beberapa pertanyaan yang terbetik di kepala saya selama talkshow itu berlangsung. Yang pertama saya utarakan kepada teman yang duduk di sebelah saya: "Mungkin nggak sih anak-anak tunagrahita itu EQ-nya lebih bagus dari kita? IQ dan EQ itu berbanding lurus nggak sih?"

Jawab teman saya itu: "Hmm, IQ dan EQ belum tentu berbanding lurus. Buktinya, ada banyak orang ber-IQ tinggi tapi EQ-nya jongkok kan?"

Iya juga yaa...

Pertanyaan kedua saya timbul karena ada teman yang bertanya: "Setelah anak-anak tunagrahita ini lulus SLB, apakah ada pekerjaan yang bisa mereka lakukan supaya bisa menafkahi hidup mereka sendiri? Lalu, kalau orang tua mereka sudah meninggal, bagaimana nasib mereka?"

Jawaban dari narasumber untuk pertanyaan tersebut: "Kalau tunagrahita ringan itu masih mungkin dapat pekerjaan, tapi kalau tunagrahita sedang itu susah. Kalau orang tua sudah meninggal ya mereka harus tetap ada yang mengawasi dan mengurusi."

Pertanyaan saya: "Kenapa di dunia ini ada tunagrahita?"

Pertanyaan yang perlu direnungkan.

***

Setelah sesi talkshow itu, kami mendapat kesempatan untuk bermain bersama anak-anak tunagrahita di SLB tersebut. Jujur, saya kikuk juga saat berinteraksi dengan mereka. Saya masih sering tidak mengerti apa yang mereka inginkan. Akan tetapi, keyakinan saya semakin kuat: mereka punya potensi dan mereka berhak mendapat bantuan untuk mengembangkan potensi itu.

***

Ayo peduli tunagrahita!
Like Captcha Peduli Sesama
Follow @CaptchaPeduli
Please come and join our movement:
1. Minggu, 25 Agustus 2013 @CFD Dago
2. Sabtu, 31 Agustus 2013 @GSG Salman ITB

Kamis, 01 Agustus 2013

Ukhuwah Islamiyah

"Menurut kalian, keluarga itu apa sih?"

Bahasan forum kecil saat itu: keluarga. Lebih jelasnya, keluarga yang dimaksud di sini bukan keluarga atas dasar hubungan darah. Keluarga yang dimaksud adalah kumpulan orang dari latar belakang berbeda-beda tapi bersinergi layaknya sebuah keluarga (makna harfiah).

Jawabanku:
"Keluarga itu tempat 'pulang'. Saat kita bersama keluarga, kita merasa ya memang di situlah tempat kita seharusnya berada. Saat bersama keluarga, kita nggak pake topeng."

Ada juga yang menjawab:
"Keluarga itu kalau ada ikatan batin antara satu orang dengan orang yang lain."

Untuk konteks keluarga yang ini, karena isinya adalah orang-orang yang baru kenal, syarat berupa 'mau sama mau' juga perlu ditambahkan deh... Orang-orang itu, yang paling lama juga baru kenal setahun (mungkin lebih juga, tapi yang jelas nggak kenal sejak lahir), mau nggak untuk menerima satu sama lain sebagai keluarga mereka?

Setelah jeda sekian lama dari forum itu, aku ingat materi pendidikan agama yang pernah diberikan kepadaku di SMA. Bahwa sesama Muslim itu saudara. Muslim satu dengan Muslim lain layaknya bangunan yang bagian-bagiannya saling menguatkan. Muslim satu dengan Muslim lain layaknya satu tubuh yang jika ada anggota yang kesakitan maka anggota lainnya akan ikut merasakan. Ukhuwah yang berlandaskan aqidah lebih kuat daripada persaudaraan karena hubungan darah (misal dalam hal warisan).

Ada juga note FB dari teman yang mengingatkanku tentang materi ukhuwah, bahwa ukhuwah itu ada tingkatan-tingkatannya:
1. Ta'aruf (saling mengenal) ; tingkatan paling mendasar
2. Tafahum (saling memahami)
3. Ta'awun (saling menolong)
4. Takaful (saling menanggung)
5. Itsar  (mendahulukan orang lain daripada diri sendiri) ; tingkatan paling tinggi

Saya juga teringat akan kisah indah ukhuwah antara Muhajirin dan Anshar. Mereka juga baru kenal saat Muhajirin mengiringi Rasulullah SAS hijrah ke Madinah. Tidak ada hubungan darah, tapi aqidah mereka sama. Oleh karena itu, Anshar sang tuan rumah pun tak tanggung-tanggung memberi bantuan kepada Muhajirin. Kaum Anshar rela memberikan harta bahkan menawarkan isteri mereka kepada saudara barunya, kaum Muhajirin.

Indah sekali ukhuwah islamiyah itu...

Saat ini, ada anggota 'tubuh' kita yang sedang sakit. Ada bagian dari 'bangunan' kita yang perlu dikuatkan. Mari ingat mereka dalam setiap doa kita...


Solo, 1 Agustus 2013