dan begitu sign in pagi ini, ada pemberitahuan dari MP... dua poin yang bikin saya ngerasa agak gimanaaa gitu
beneran musti pindah nih...?
Sebuah parade kehidupan dimulai
Diuntai cerita demi cerita sesuai skenario
Dalam sepi aku terdiam, terduduk lunglai
Karena tak ada penawaran, dan telah ditetapkan sepanjang rasio
Parade kehidupan dimulai
Pita-pita kisah dianyam dengan polaNya
Dalam bingar aku termenung, menghitung hadiahNya
Betapa, kepadaku Pemilik Semesta ini amat baik
Di sini, aku sebagai salah satu lakon
Bukan protagonis apalagi antagonis
Kalian dengar! Akulah lakon!
Tak pula si manis ataupun si sadis
Tapi…
Inilah aku…
Aku bukanlah seorang napi…
Karena aku hanya seorang bodoh yang menggigit kuku…
Sering diri bertanya, “Apa makna eksistensi?”
Dengan limpahan sungai harta penghapus dahaga duniawi
Teruntuk jiwa-jiwa lain, apa sejatinya diri?
Adakah sebagai kurir rizki kepada orang-orang ini?
Orang-orang yang terpinggirkan
Yang dicaci, dimaki, dikatai
Yang dicap pemalas, parasit masyarakat
Yaaah…
Akulah yang disebut-sebut pemalas…
Tapi aku bukan pemarah
Karena aku hanya bisa mengandalkan satu tarikan napas
Orang-orang ini tetaplah manusia
Patut diberi uluran tangan yang mampu
Menghabisi putus asa mereka
Saat mentari menghujam terik
Aku menengadah tangan dan menunduk
Jam usang di tangan terus berderik
Menunggu koin demi koin di ujung tanduk
Dan tatkala bulan tertutup mendung hitam
Aku meringkuk tak berdaya bagai ulat
Tak pula aku menjadi naik pitam
Karena takdirku tuk dipeluk lalat
Di parade ini pula kutemui
Tak sedikit cibiran penuh iri
Kemanisan semu yang terbitkan muak
Keikhlasan yang dipaksa-paksakan
Sungguh aku tak minta
Untuk bisa merasai kasur empuk, mengecap santapan lezat
Tapi, pun Dia beri aku semua itu
Dan aku tak menolak
Ya Tuhan…
Mengapa hidup ini bagai lingkaran?
Tidak, aku tidak akan menjerit tak tahan
Tapi Tuhan…
Bolehkah aku menamai ini nasib?
Atau ini hanya sekedar permainan
Tapi satu Tuhan, yang Kau ajarkan
Episode sabar dan kesyukuran
Duhai Tuhan…
Munafiklah hamba bila berkata tak butuh
Namun, adakah ini sebuah ujian iman?
Dengan semua ini, mampukah iman bertahan utuh?
Jujur, hambaMu ini penasaran
Akan rasa kehidupan yang lain
Kehidupan penuh ketulusan
Apapun konsekuensinya
…saat semua dibalik…
Jika kesempatan hadir melepas jubah proletar ini
Ganti dengan sutera bersih lagi wangi
Tak salah bukan?
Jika aku ingin memakainya…
Oooh…
Apa ini?
Mungkinkah ini sisi lain dari polaMu, Tuhan?
Memang aku pernah memintanya
Tapi… Tuhan…
Bagai melenggang di atas takdir
Tetap indah walau tanpa warna
Tak lagi aku menjadi buah bibir
Dan kuikat mimpi di atas pelana
Kutapakkan langkah pertamaku
Di atas tumpukan bau
Inikah yang mereka sebut kehidupan?
Sungguh mengecewakan…
Tempat ini serasa tak berbatas
Tak seperti biasa…
Langit sore tergantung senja kali ini
Tanpa perlu aku mengiba
Toh, apa yang ada di hadapanku
Bisa dengan mudah jadi milikku
Bulan yang dulu hitam kusebut-sebut
Sebagai dewi malam kini
Tak lagi ia kelam
Karena kini ku bisa melakukan serupa
Dengan apa yang mereka lakukan dulu
Di mana ketulusan yang kucari, Tuhan?!
Dunia baru ini sesak dengan
Tatapan sebelah mata, menghina
Betapa kini, hidup terasa perih sekali
Jerih aku merasai lelah
Aku lelah, Tuhan!
Apa ini ujianMu yang lain?!
Aku lelah, Tuhan!
Aku ingin seperti dulu
Bisakah permintaan kemarin dicabut saja?
Dan kembalikan aku ke masa lalu?
Sudahlah…
Hingga titik jenuhku tak kurasa kepuasan
Aku dapat mencaci!
Tapi mereka yang dulu mencintaiku, terus pergi meninggalkanku
…kita manusia hanya bisa menerima
inilah dia yang bernama takdir…
Mengapa bintang bersinar...
Mengapa air mengalir...
Mengapa dunia berputar...
Lihat segalanya..
Lebih dekat...
Dan kau akan mengerti...
[Lihatlah Lebih Dekat -- Sherina]
Saya seringkali merasa senang setelah mengobrol dengan teman-teman yang bukan termasuk teman akrab. Lewat obrolan itu, saya bisa lebih mengenal sosok mereka. Bagi saya, itu memang menyenangkan!!
Jadi gini, di kelas saya ada beberapa anak cewek yang memang jarang sekali jadi pusat perhatian, bahkan mereka jarang pula kedengeran suaranya di kelas. Tadi siang habis Try Out Biologi dan Kimia, saya berkesempatan ngobrol dengan dua orang di antara mereka. Berawal dari nyocokin jawaban hingga rencana kuliah.
Pas nyocokin jawaban, tanpa sengaja salah satu dari mereka [sebut saja si A] membaca coretan saya di lembar soal Biologi. Dia pun bertanya, “Hayooo, ini apaan nih?”
Well, sejujurnya coretan itu bisa dibilang personal journal, semacam curahan hati yang biasa ditulis di diary gitu deh. Salah saya juga sih, nulis suatu hal pribadi di tempat yang terbuka untuk umum. Tapi karena udah terlanjur kepergok dan saya gak enak kalau harus merebut lembar soal itu dari si A, maka saya biarkan saja coretan itu dibaca oleh si A dan si B. Saya hanya berusaha terkesan tidak panik dengan mengatakan bahwa coretan itu merupakan ide mentah untuk membuat cerpen.
Tanpa diduga-duga, si B malah menyahut, “Oh, kamu suka bikin cerpen toh? Wah, bagus, bagus, aku dukung!! Aku gak pernah bisa bikin cerpen sih…”
Nah lho?
Dari sini saya jadi berkesimpulan kalau galau itu gak selamanya jelek. Jika dengan galau kita malah bisa lebih produktif, bisa dapet duit, why not? Haha, kesimpulan macam apa ini -__-“
Aku pun jadi penasaran, apa yang dilakukan kedua temanku itu saat mereka terserang galau.
“Kalau aku orangnya moody sih… jadi ya tergantung pas galau itu aku pinginnya ngapain..,” jawab si A.
“Kalau aku biasanya tidur. Pas bangun, udah lupa deh sama galaunya. Atau kalau nggak, aku belanja,” jawab si B.
Sontak jawaban si B ini bikin saya angkat alis, heran. Begitupun si A. Pasalnya, kalau dilihat-lihat, si B itu bukan tipe cewek yang suka belanja [shopaholic].
“Iya kok, beneran. Biasanya aku suka belanja roti-roti. Tapi begitu sampai rumah, jadi bingung deh mau diapain. Hehe, kalau dimakan sendiri kebanyakan…”
Ealaaaah, ternyata belanjanya belanja amunisi perut toh… Lucu juga. Baru kali ini lho saya ketemu orang unik kayak si B.
Ngomong-ngomong soal roti, saya pun jadi ingat temen SMP yang sekarang udah mulai bisnis bakery. Saya ceritakan sosoknya pada si B [yang dulu emang nggak se SMP sama saya] dan si A [yang gak pernah sekelas sama temen saya itu di SMP].
Cerita selesai, si B pun angkat suara lagi, “Aku tuh sebenernya pingin jadi koki, pingin bikin kue-kue gitu. Tapi aku takut sama api.”
Nada bicara dan mimik wajah si B yang sarat akan kepolosan itu, untuk kesekian kalinya, berhasil mengundang tawa saya. “Sekarang kan gak musti pake kompor.. udah ada microwave kan, hehe,” sahutku asal.
Yah… itulah sekelumit ceritaku soal obrolan tadi siang. Obrolan yang membawaku lebih dekat dengan si A dan B. Obrolan yang membantuku untuk lebih mengenal sosok mereka. Mempererat ukhuwah yang sudah ada dan menjalankan silaturahim.
Kata mbak Murobiyahku, silaturahim itu menyehatkan. Kalau dipikir-pikir, bener juga sih. Saya kalau habis ketemu dan berbagi cerita sama temen lama ataupun setelah saling menjajaki dengan teman baru rasanya tuh seneng dan tambah semangat beraktivitas. Dan bukankah perasaan kita itu berpengaruh pada kesehatan fisik kita? Iya kan….? ^^
Aku dan kamu itu beda, tentu saja. Aku ini sering nggak jelas, nggak ngerti apa yang kuinginkan sebenarnya. Kamu tahu pasti apa yang kau inginkan. Aku tidak terlalu erat memegang prinsip, sering bersikap lunak dengan dalih toleransi, bahkan pada diri sendiri. Kamu sangat teguh memegang prinsipmu, tak peduli apakah prinsipmu itu bersebrangan atau tidak dengan prinsip orang lain, prinsip tetap prinsip. Aku lebih sering mempertimbangkan perasaan orang yang kuajak berinteraksi walau aku tak sependapat dengan dia. Kamu lebih mementingkan pemikiran dan cara berpikir orang lain ketimbang perasaannya. Hehe, bahkan terkadang kata-katamu menyentil ego dan emosiku.
Masih banyak lagi beda di antara kita. Tapi aku nggak akan menghabiskan waktu untuk menuliskannya satu per satu. Aku hanya berpikir, sepertinya persahabatan kita ini seperti koloid ya? :)
Sekalian ngulang materi kelas XI buat persiapan UN + SNMPTN… Koloid itu bukan larutan, bukan juga suspensi. Secara makroskopis, koloid tampak homogen. Tapi mikroskopisnya sebenarnya heterogen. Partikel-partikel diskontinue (disebut fase terdispersi) nggak bercampur dengan partikel-partikel kontinue (pendispersi) tapi juga nggak terang-terangan memisahkan diri membentuk endapan. Ya, seperti kita selama menjalani persahabatan ini, kita tidak pernah jadi homogen. Buktinya masih banyak perbedaan di antara kita. Namun, keheterogenan kita belum mampu merusak ukhuwah ini, dan semoga tak akan pernah mampu.[aamiin]
Meski demikian, aku masih belum bisa menentukan siapa yang terdispersi dan siapa yang pendispersi di antara kita berdua :) Aku juga belum menentukan nama koloid kita: apakah aerosol, sol, sol padat, emulsi, emulsi padat, buih, atau buih padat? Atau kita namai koloid kita ini dengan nama yang belum pernah ada di dunia perkoloidan? Ada usul? X)
Kamu ingat kenapa koloid bisa stabil? Ya, salah satunya karena ada gerak Brown. Molekul-molekul dalam koloid terus bergerak dan bertumbukan. Tapi sekali lagi, tumbukan ini tidak akan mencampurkan (menggabungkan, menghomogenkan) molekul-molekul yang ada sehingga tidak akan terbentuk larutan ataupun suspensi. Gerak Brown inilah yang menyebabkan partikel-partikel dalam koloid dapat mengimbangi gaya gravitasi (tidak mengendap). Jadi, walaupun kita ini banyak bedanya, kita tetap mesti sering-sering interaksi yaa? Biar koloid kita langgeng :)
By the way, koloid kita ini termasuk hidrofil atau hidrofob ya? Gimana kalau hidrofil aja? Kita berdua suka air kan? Hehe… soalnya koloid hidrofil itu nggak mudah digumpalkan dengan penambahan elektrolit. Koloid hidrofil ini juga bersifat reversibel, yaitu kalau zat terdispersi dan pendispersi terlanjur berpisah, mereka bisa disatukan lagi dengan menambahkan air.
Aku bersyukur bisa berkawan dengan kamu. Sudah dari sananya kita ini berbeda. Dan meski banyak perbedaannya, aku sungguh berharap koloid kita bisa bertahan selamanya :)