Rabu, 16 Desember 2009

Remidi Nggak Bikin Kamu Mati

Di hari-hari terakhir UAS, papan pengumuman sekolah sudah mulai dipenuhi daftar siswa-siswa yang remidi di berbagai mapel. Aku kaget ketika suatu pagi menemukan tulisan: ”Remidi nggak bikin kamu mati!” di antara puluhan nama peserta remidi. Ditulis dengan spidol warna dan tampak mencolok. Ckckck.... Siapa gerangan si penulis?

Namun, kali ini aku tak akan meributkan siapa si penulis. Aku hanya akan membahas lima kata itu: Remidi nggak bikin kamu mati!

Aku tahu, kata-kata ini bisa menjadi penghiburan bagi para siswa yang remidi. Salah satu buktinya, aku menemukan kata-kata ini di status salah seorang teman di facebook. Salah seorang teman yang harus ikut remidi.

Jika ditinjau dari segi makna, kalimat itu memang benar adanya. Remidi bukanlah pedang perang. Remidi bukanlah senapan berburu. Remidi bukanlah bom atom. Remidi bukanlah racun mematikan. Remidi hanyalah beberapa soal yang mengharapkan jawaban benar.

Pertama kali membaca kalimat ini, reaksi yang timbul dalam diriku (setelah kaget sejenak) adalah pertentangan. Aku tidak suka mengetahui teman-temanku (yang remidi) menghibur diri dengan kata-kata ini. Aku takut, kata-kata ini akan menanamkan rasa tak peduli pada diri mereka. Aku takut mereka kehilangan semangat untuk mengerjakan UAS dengan usaha terbaik mereka karena jikapun nilai mereka di bawah KKM, mereka bisa mengikuti remidi, dan takkan ’mati’ karenanya. Aku tak mau mereka menganggap remeh kesempatan pertama karena ada kesempatan kedua.

Menurutku, remidi itu adalah sesuatu yang sebaiknya dihindari karena remidi itu:

Merepotkan
Jika kita ikut remidi, itu artinya kita harus ‘berjuang’ lagi. Kita harus membaca catatan lagi. Kita harus membaca buku paket lagi. Kita harus latihan lagi. Dan usaha-usaha lain yang tidak sebanding dengan hasil yang akan kita peroleh nanti. Kalaupun kita bisa menjawab semua soal remidi dengan benar, nilai yang kita dapat tidak akan melampaui KKM.

Membuang waktu
Biasanya, soal-soal remidi dibuat mirip bahkan persis dengan soal UAS. Itu artinya, kita harus mengerjakan soal-soal yang sama (lagi). Kalau saja kita tidak remidi, kita bisa memanfaatkan waktu yang kita miliki untuk refreshing pasca UAS. Lebih asyik kan?

Mengecewakan orang tua
Kalau orang tua kita tahu bahwa anaknya remidi, pasti pikiran mereka akan langsung terbebani. Bahkan, efek sampingnya bisa membuat mereka sakit ringan, seperti masuk angin, pusing, flu, dsb. Padahal, kita sebagai anak memiliki kewajiban untuk membahagiakan orang tua, bukan mengecewakan mereka.

Membuat keseriusan kita dipertanyakan
Memangnya satu semester ini kamu ngapain di sekolah? Apa kamu nggak pernah memerhatikan pelajaran yang disampaikan gurumu? Kalau kamu belajar sungguh-sungguh, kenapa masih remidi?

Itulah beberapa hal yang membuatku tidak setuju dengan kalimat itu. Okelah, mungkin maksud si penulis baik. Mungkin ia ingin menghibur para remidian agar tidak terlalu meratapi nasib. Tapi aku tetap merasa kata-kata itu kurang pas dijadikan hiburan. Kalimat itu hanya menimbulkan keberanian untuk menghadapi remidi, belum menanamkan tekad untuk berjuang menjadi lebih baik (alias nggak remidi lagi).

Kalau aku remidi, aku akan berkata pada diriku sendiri: ”OK. Jalani ini dengan berani. Tapi, jangan sampai hal ini menjadi ‘hobi’ yang mendarah daging. Next time, you must be better!!!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar