Jumat, 05 Juni 2009

Rindu untuk Budi

Dengan santainya, Pak Diman mengisap rokok sambil mendengarkan radio. Jam dinding usang yang menempel di dinding kamarnya menunjukkan pukul setengah enam. Biasanya, pada jam-jam ini, Pak Diman sudah sibuk dengan segudang aktifitas penjaga sekolah. Mulai dari menyapu halaman hingga menyiapkan minum untuk para guru. Tidak untuk hari ini. Pak Diman bisa bersantai sejenak hari ini.

Radio kunonya melantunkan lagu-lagu pop yang banyak digandrungi remaja sekarang. Lagu demi lagu berganti. Lagu-lagu ini membuka memori lama Pak Diman akan cucu kesayangannya, Budi. Tanpa sadar, tangan lelaki tua itu menjangkau kotak kayu di atas mejanya. Mengeluarkan kenangan paling berharga dari cucunya, sebuah foto dan kaset band favorit Budi. Sambil memandangi wajah cucunya, ia kembali memutar ingatannya akan sebuah percakapan bersama Budi.

“Kamu lagi ngapain, Bud?” tanya Pak Diman sambil bersandar di pintu kamar Budi.

“Eh… Ini, Budi lagi dengerin lagu-lagu favorit Budi, Kek. Lagunya bagus-bagus deh. Kakek mau ikutan dengerin?” dengan antusias ia menambah volume tape-nya.

“Kakek mana ngerti lagu anak muda zaman sekarang, Bud.”

“Yahhh… Coba dong, Kek… Coba dengerin yang ini… ya?” bujuk Budi.

“Iya.. iya.. Kakek coba, deh.”

Sore itu adalah pertama dan terakhir kalinya Pak Diman menikmati lagu-lagu pop bersama cucunya.

Tok…tok…tok…

Pak Diman terperanjat oleh ketukan di gerbang depan. Sekilas ia melirik jam. Pukul enam lewat sepuluh. Siapa yang sudah datang sepagi ini? Ini kan hari ujian? Ujiannya saja baru mulai jam delapan…

Lelaki kurus itu mengambil kunci yang ia kaitkan di belakang pintu lalu bergegas menuju pintu gerbang, secepat yang diizinkan kaki tuanya.

“Ooo… Kamu tho? Pagi sekali datangnya… Ujian mulai jam delapan kan?” ujar Pak Diman kepada anak laki-laki yang tadi mengetuk gerbang. Anak ini memang selalu datang sekitar jam segini.

“Iya, Pak. Saya udah terbiasa datang pagi. Kalau berangkat agak siang, rasanya nggak enak. Udah panas, jalanan juga udah rame, Pak. Makanya, walaupun ujiannya mulai jam delapan, saya tetep berangkat pagi,” jelas anak itu panjang lebar.

“Nanti ujiannya sampai jam berapa?” tanya Pak Diman sambil membukakan gerbang.

“Jam sepuluh. Doakan saya ya, Pak. Semoga saya bisa mengerjakan ujian ini dengan baik.”

“Amin… amin…” jawab Pak Diman sembari tersenyum lebar.

Ketika anak itu sudah masuk dan meninggalkan Pak Diman sendirian di gerbang, pikiran Pak Diman kembali melayang ke cucunya. Betapa anak laki-laki tadi sangat mirip dengan Budi. Mereka berdua sama-sama suka berangkat pagi, tidak pernah terlambat. Mereka selalu berseragam dengan rapi, tidak seperti kebanyakan siswa lain yang suka berseragam seenaknya. Sorot mata mereka selalu memancarkan semangat membara. Mungkin bedanya hanya terdapat pada fisik. Anak laki-laki tadi tampak sehat terawat, kulitnya bersih, dan tubuhnya senantiasa wangi. Sedangkan Budi bertubuh ceking dan lebih sering berbau matahari.

Setelah lamunan singkat di gerbang depan ini, Pak Diman memutuskan sudah saatnya dia memulai pekerjaannya. Ia kembali ke kamarnya untuk mematikan radio kunonya lalu langsung menuju ke dapur sekolah. Merebus air untuk membuatkan the para guru.

***

Keesokan harinya, tepat pukul enam, Pak Diman sudah membuka kunci gerbang. Setelah itu, ia mulai menyapu halaman. Belum juga lima menit berlalu, anak laki-laki itu sudah datang.

“Pagi, Pak Diman,” sapanya.

“Eh… kamu. Pagi,” balas Pak Diman dengan agak kikuk. Meski sudah berulang kali bertemu, dia belum tahu nama anak laki-laki itu.

“Hari ini jadwalnya apa?” tanya Pak Diman ketika anak itu memarkir sepedanya.

“Matematika, Pak,” jawab anak itu dengan senyum lebar menghiasi wajahnya. Pak Diman heran demi melihat bahwa anak itu tetap tenang meski akan menghadapi ujian mata pelajaran yang dianggap sebagai momok oleh sebagian besar siswa.

“Ohhhh…. Udah belajar, kan? Bapak doakan deh, supaya kamu bisa mengerjakan soal-soalnya nanti.”

“Makasih, Pak,” jawab anak itu sambil berlalu ke dalam.

Pak Diman kembali ingat akan cucunya. Pada suatu pagi, sebelum Budi berangkat sekolah…

“Hari ini ujiannya apa, Bud?” tanya Pak Diman.

“Matematika, Kek,” jawabnya sambil memakai sepatu.

“Matematika, ya? Hmmm… Kakek doakan deh, supaya kamu bisa mengerjakan ujiannya nanti.”

“Makasih, Kek. Budi yakin kalau Budi bisa mengerjakan ujian nanti. Budi kan udah belajar, Kek.”

“Iya, deh. Kakek percaya,” jawab Pak Diman.

“Budi berangkat dulu ya, Kek. Assalamu’alaikum,” pamit Budi sambil mencium tangan kakeknya.

“Wa’alaikum salam.”

Ternyata itu adalah pamitan Budi untuk selamanya. Pagi itu dia tidak sampai ke sekolah. Tidak mengerjakan ujian matematikanya. Pagi itu ia tertabrak mobil. Ia mengalami pendarahan hebat di kepala. Ketika dilarikan ke rumah sakit, Budi telah menghembuskan napasnya yang terakhir.

Mata Pak Diman basah. Ia rindu sekali dengan cucunya. Mungkin satu-satunya penghiburan yang dimilikinya adalah anak laki-laki itu. Setiap kali bertemu dan bercakap-cakap dengannya, Pak Diman selalu merasa bahwa ia sedang berhadapan dengan cucunya.

Meski demikian, tak lama lagi, Pak Diman juga harus berpisah dengan anak laki-laki itu. Sebentar lagi ujian selesai dan anak itu pasti lulus. Meninggalkan sekolah ini dan Pak Diman yang sudah menganggapnya sebagai cucunya sendiri. Ia akan meneruskan pendidikannya di sekolah yang lebih tinggi. Dan kelak ia akan menjadi orang sukses. Pak Diman yakin akan hal itu.

***

Gubrakk

“Astaghfirullah!”

Orang-orang mulai mengerumuni anak laki-laki yang sekarang baju putihnya telah basah oleh darah. Mata anak itu terpejam. Napasnya tersengal-sengal. Sepedanya penyok akibat benturan keras dengan mobil tadi.

“Ada apa ini?” tanya Pak Diman yang tadi segera berlari keluar setelah mendengar suara benturan di depan sekolah. Beberapa guru dan siswa juga telah bergabung dengan kerumunan tersebut.

Pandangan lelaki tua itu langsung tertuju ke arah si korban. Wajahnya penuh dengan darah segar yang masih terus mengalir dari luka baru di kepalanya. Meski demikian, mata lelaki tua itu masih cukup awas untuk mengenali bahwa itu adalah anak laki-laki yang mengingatkannya kepada Budi.

“Inna lillah!” seru Pak Diman sembari bersimpuh di samping anak laki-laki itu. Ia meraih kepala anak itu. Mengusap darah dari wajah tampannya.

“Ayo segera telepon ambulance! Anak ini perlu ditolong. Segera! Ayo!” seru seseorang dalam kerumunan. Entah siapa.

Pak Diman hanyut dalam kesedihan. Meskipun anak laki-laki itu tidak memiliki hubungan apa-apa dengannya, Pak Diman tetap menangisi keadaannya. Lelaki tua itu terus-menerus menyeka darah yang keluar dari kepala si anak. Sekilas matanya melirik ke seragam anak itu dan badge nama yang tersemat di dadanya. Tulisannya agak tersamarkan oleh darah. Lelaki tua itu mengedipkan mata untuk menghilangkan genangan air mata di pelupuknya, agar ia bisa membaca dengan jelas. Dan akhirnya, dia tahu nama anak laki-laki itu. Budi Anggara. Tangis Pak Diman pun semakin menjadi-jadi.


3 komentar: