Kamis, 15 Januari 2015

Book Review: Revolusi dari Secangkir Kopi



Penulis: Didik Fotunadi
Penerbit: Mizan
Halaman: 446 hal.

"Aku belajar tentang makna kecewa sang pendaki gunung, tapi dengan kacamata lain ia sudah hebat ketika dilihat dari kejauhan. Lalu tentang jadilah sebutir pasir dalam sebuah bangunan keidealan. Tentang impian masa depanku, akulah yang buat. Bapak telah membayar harga keberhasilan anak-anaknya dengan melengkungkan diri seolah busur, dengan keringat serta kerja keras. Sehingga mampu melesatkan anaknya menuju masa depan yang bahkan beliau sendiri pun tak pernah mampu membayangkannya." [halaman 150]

---


Awal mula tertarik dengan buku ini adalah saat ada rangkaian acara untuk memperingati Sumpah Pemuda di kampus. Salah satunya adalah launching buku ini. Walaupun akhirnya saya tidak datang ke acara tersebut, saya tetep tertarik untuk membaca buku ini karena katanya buku ini bercerita mengenai kehidupan seorang mahasiswa aktivis ITB angkatan 1993. Tambah tertarik lagi karena judulnya pakai kata "Kopi" :p

Seperti yang dapat dibaca di cover belakang buku ini, penulis berfokus pada kisah kemahasiswaannya saat kuliah di ITB. Bahkan cerita tentang keaktifan dan kekritisan mahasiswa ITB yang ia dengar saat masih SMA ia jadikan motif utama untuk memutuskan pilihan perguruan tingginya. Ya, ia ingin masuk ITB karena ingin menjadi bagian dari mahasiswa-mahasiswa yang katanya kritis, pantang menyerah dalam berjuang.

Keasyikan tersendiri yang saya rasakan saat membaca buku ini adalah saya bisa membayangkan aneka kejadian yang diceritakan penulis ber-setting kampus Ganesha tahun 1993. Saya jadi tahu kalau dulu, tempat gedung kuliah saya berdiri sekarang tak lain adalah sebuah lapangan dan pernah ada helikopter militer mendarat di sana. Saya jadi tahu kalau aturan jam malam di kampus dimulai pukul 23.00 sudah ada sejak tahun 1994 (sampai sekarang juga masih 'berlaku'). Dan saya jadi makin sadar akan perbedaan karakter setiap unit kegiatan / himpunan jurusan, sebut saja perbedaan antara mahasiswa-mahasiswa Geologi dengan mahasiswa Informatika seperti saya. 

Kalau masalah kemahasiswaannya sendiri jujur saya tidak bisa membandingkan dengan kemahasiswaan era kini. Kegiatan kemahasiswaan yang diceritakan oleh penulis adalah serangkaian kegiatan "pembelaan rakyat" yang puncaknya jatuh pada tahun 1998. Sedangkan saya kurang tahu mengenai kegiatan kemahasiswaan di kampus sekarang, bisa dibilang saya hanya tahu bagian permukaannya saja.

Bahasa penulisan yang digunakan penulis cukup bisa dinikmati alirannya. Kata-kata yang dipilih juga mudah dipahami. Pada beberapa halaman diisi dengan gambar ilustrasi adegan cerita dan di beberapa bagian juga diselipkan lirik-lirik lagu khas perjuangan mahasiswa (Kampusku Rumahku, Mentari, dll). Alur ceritanya runtut, dari tokoh utama masuk jadi mahasiswa baru, mengikuti osjur, menjadi pengkader di salah satu unit, lalu melompat ke peristiwa Mei 1998.

Selain menceritakan kemahasiswaan, ada juga selipan cerita cinta dan keluarga si tokoh utama. Bagian cerita keluarga (tentang bapak dan ibu) selalu bisa menyentuh saya dan mengingatkan akan orang tua saya sendiri, mengingatkan akan pengorbanan mereka untuk saya dan keinginan mereka agar saya memperoleh pendidikan yang tinggi.

Overall, buku ini telah berhasil meng-engage saya. I give it 4 out of 5 stars in Goodreads :)


Bandung, 15 Januari 2015
...ditulis di tengah usaha agar tidak "nggak ngapa-ngapain"

3 komentar:

  1. Hayyu Luthfi Hanifah, terimakasih book reviewnya untuk Revolusi dari secangkir kopi, semoga menginspirasi, benar, sayang kalau kita "nggak ngapa-ngapain" pada masa-masa keemasan hidup kita, do the best, salam untuk negeri yang lebih baik.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih juga pak Didik sudah berbagi kisah lewat buku ini :)

      Hapus
  2. setuju sama reviewnya, terutama jadi tahu kondisi kampus ITB di era 1990an. Sekarang semasa saya jadi mahasiswa di sini kondisinya sudah beda, dan pembatasan jam kegiatan mahasiswa semakin ketat.

    Tapi yang saya sesali dari novelnya adalah ketika cerita dilompat dari saat kaderisasi PSIK ITB (menerima anggota baru), tiba-tiba kita diantar ke masa pendudukan gedung DPR. Padahal saya pengen banget tau cerita mas Didik selama di himpunan GEA (katanya jadi ketua himpunan).

    Walaupun begitu, saya juga memberikan penilaian BAIK untuk novel ini

    BalasHapus